Minggu, 25 Agustus 2013

Makalah 1 Temu Nasional Strategi dan Kebijakan Pendirian Perusahaan Asuransi Koperasi



Bahan ini akan dipresentasikan pada :
Temu Nasional Strategi dan Kebijakan Pendirian Perusahaan Asuransi Berbadan Hukum Koperasi
Jakarta, 27-29 Agustus 2013


KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA INTERMEDIASI KEUANGAN UNTUK PEMBIAYAAN USAHA MIKRO DI SEKTOR PERTANIAN
Oleh:
ACHMAD H. GOPAR
Pendahuluan
Meskipun tidak banyak dimengerti, peran dasar koperasi dalam sistem keuangan, terutama dalam hal penyediaan permodalan, adalah menjadi perantara yang menghubungkan pihak yang berlebih dan pihak yang kekurangan, atau, seperti di banyak negara berkembang, adalah menjadi penyalur kredit pemerintah untuk pembangunan. Dalam cakrawala pandangan ini, koperasi tidaklah berbeda dengan lembaga intermediasi keuangan (LIK) lainnya. Perbedaan utamanya adalah; jika pada LIK lainnya peminjam dan pemberi pinjaman adalah jatidiri yang berbeda, maka pada koperasi peminjam dan pemberi pinjaman adalah pemilik LIK.1)
Sebuah badan usaha atau sebuah rumahtangga bisa saja memiliki sumberdaya melebihi peluang investasi yang menguntungkannya atau peluang konsumsinya. LIK memungkinkan pihak yang surplus untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang lebih tinggi bagi dananya yang menganggur ataupun konsumsinya yang ditunda sehingga kelebihan sumberdaya tersebut menghasilkan kepuasan yang lebih tinggi. Sebagaimana Gonzales-Vega nyatakan, dengan absennya mekanisme keuangan, maka setiap produsen harus mengongkosi sendiri kegiatannya; dengan kata lain, setiap produsen hanya dapat menarik keuntungan dari peluang produksinya sampai pada tingkat yang dimungkinkan oleh sumberdaya yang dimilikinya.2)
Jika keragaan LIK sangat buruk, maka kontrak ataupun pertukaran secara barter antara pihak yang surplus sumberdaya dan pihak yang minus sumberdaya menjadi sulit diwujudkan, jikapun teIjadi akan membutuhkan biaya yang tinggi. Untuk menurunkan biaya transaksi pertukaran tersebut, koperasi sebagai LIK dapat memberikan fasilitas untuk terjadinya perpindahan barang dan jasa diantara pihak-pihak tersebut. Ini dimungkinkan dengan cara memobilisasikan dana dari pihak yang surplus (tabungan) dan menyalurkannya (pinjaman) kepada pihak yang yang sumberdayanya terbatas. Bila dana ini digunakan untuk bahan baku dan faktor produksi, maka realokasi sumberdaya akan terjadi dari pihak yang surplus kepada produsen yang minus, yang selanjutnya akan meningkatkan produktivitas sumberdaya secara keseluruhan.
Peranan LIK tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut; misalkan ada dua pihak “A” dan “B” ingin mengadakan pertukaran melalui barter atau melalui perantara informal. Misalkan pula bahwa A mempunyai peluang produksi yang sangat bagus, namun tidak mempunyai sumberdaya sendiri yang cukup untuk kegiatan tersebut, sedangkan B mempunyai kelebihan sumberdaya namun tidak mempunyai peluang produksi yang bagus sehingga terpaksa menggunakannya untuk keperluan yang kurang berdayaguna. Jika tidak ada LIK, maka A akan terpaksa menjadi kurang produktip karena kekurangan sumberdaya, sedangkan B terpaksa mengkonsumsi kelebihan sumberdaya tersebut dengan tidak efisien atau menginvestasikannya pada aktivitas yang kurang menguntungkan dimana "return on investment" (ROI)nya rendah.
Sistem keuangan di negara berkembang umumnya bercirikan dengan berbagai fragmentasi: terisolasinya unit-unit ekonomi dan tidak adanya mekanisme yang efisien untuk mentransfer sumberdaya antar produsen. Selain tidak terintegrasinya sistem keuangan, juga terdapat hubungan yang kurang menggembirakan antar kelompok yang tingkat pendapatannya berbeda. Di dalam lingkungan sistem keuangan yang terpilah-pilah tersebut akan muncul ketimpangan tingkat pendapatan marjinal terhadap "asset" yang sangat besar: beberapa unit menerima pendapatan yang sangat besar sedangkan yang lainnya menerima pendapatan dengan tingkat yang sangat rendah. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan iklim, prasarana transportasi, sumber pendapatan, keterpaduan usaha, besarnya keluarga, kapasitas manajerial, dan nasib baik. Juga karena sifat sistem produksi, misalnya suatu usaha tani menjadi biasa bila mengalami kesulitan likuiditas pada suatu ketika dan mempunyai kelebihan likuiditas pada masa panen. Ketimpangan pendapatan antar unit ekonomi untuk jangka waktu tertentu tersebut menjadi tipikal dengan meningkatnya pembangunan. Siklus hidup suatu usaha dan terpilah-pilahnya pemilikan sumberdaya suatu keluarga meningkatkan kebutuhan intermediasi keuangan. Membantu merealokasikan sumberdaya tersebutlah yang merupakan hal terpenting bagi suatu LIK untuk dapat disumbangkan dalam pembangunan.3)
Lebih lanjut, LIK tidak saja mengurangi biaya dan risiko untuk menabung dan meningkatkan penerimaan rata-rata investasi, juga merangsang menabung, meningkatkan akumulasi modal dan, tentu saja, laju pendapatan. Sebagai tambahan, sistem intermediasi keuangan yang efisien juga akan meningkatkan distribusi pendapatan. Perbedaan tingkat pendapatan antar produsen berkaitan dengan perbedaan kesempatan berproduksi dan kontrol terhadap sumberdaya yang memungkinkan mereka mengambil keuntungan daripadanya. Selain akses terhadap kredit memungkinkan kontrol tersebut, sistem intermediasi keuangan dapat mengeliminasikan salah satu sumber potensial timbulnya kesenjangan laju pendapatan.4) Dengan demikian, sistem intermediasi keuangan yang baik akan dapat meningkatkan laju akumulasi modal, memperbaiki alokasi sumberdaya, dan memperbaiki distribusi pendapatan.

Kondisi Umum Intermediasi Keuangan di Negara Negara Berkembang
Intermediasi keuangan di negara-negara berkembang umumnya lebih menekankan kegiatannya pada sisi pemberian pinjaman/kreditnya saja dibandingkan pada sisi pemupukan modalnya. Oleh karena itu lazimnya hanya disebut sistem perkreditan saja. Intermediasi keuangan di beberapa negara berkembang selalu berkaitan dengan proses pembangunan. Para pakar kredit umumnya sepakat bahwa kredit memegang peranan yang sangat penting dalam mempercepat laju pertumbuhan, memperbaiki pengalokasian sumberdaya dan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan, terutama di pedesaan.5)
Pada periode 1960-70an banyak negara berkembang, seringkali dengan bantuan yang sangat besar dari negara-negara donor, membangun sistem perkreditannya dengan mengandalkan pada kebijaksanaan pengendalian tingkat bunga pinjaman agar tetap dibawah tingkat bunga pasar pada umumnya. Walaupun peranannya sangat besar namun tidaklah berarti bahwa program kredit tersebut luput dari berbagai permasaalahan, umumnya program ini memerlukan jumlah dana yang sangat besar; tingkat pengembalian kredit yang sangat rendah; sulitnya kaum papa terutama di pedesaan untuk mempunyai akses terhadap kredit murah; dan masih saja diragukan apakah peningkatan jumlah arus kredit benar-benar meningkatkan laju pembangunan, terutama di pedesaan. Yang lebih menyedihkan lagi, banyak dari lembaga intermediasi keuangan yang melaksanakan program tersebut tidak dapat mandiri.6) Kredit murah dan kredit yang mempunyai sasaran tertentu saja telah lama mendapat kecaman dari banyak pengamat, terutama para pakar dari Ohio State University dan Bank Dunia yang berkeyakinan bahwa kebijaksanaan tersebut melemahkan lembaga keuangan mikro (LIK).7)
Tingkat bunga kredit mikro yang rendah menyebabkan LIK juga menawarkan bunga yang rendah kepada penabung potensial, sehingga akan menurunkan jumlah tabungan dan memaksa LIK bergantung kepada dana murah atau subsidi dari Bank sentral untuk menjamin likuiditasnya, yang umumnya dikendalikan oleh penjatahan administratip ataupun politis. Cara pertama akan meningkatkan biaya transaksi, sedangkan cara terakhir akan menyebabkan timbulnya "permainan" dalam analisis kelayakan kredit dan/atau "kekeliruan yang disengaja" oleh peminjam yang basis politisnya kuat, yang pada akhimya akan menyebabkan kredit macet.
Biaya transaksi yang tinggi merupakan masalah lumrah untuk sistem perkreditan di negara-negara berkembang. Masalah ini terutama disebabkan fragmentasi pasar, transaksi yang kecil-kecil, biaya informasi yang tinggi, dan risiko serta ketidak-pastian yang tinggi. Hal-hal tersebut mengakibatkan penerimaan bersih bagi penabung menjadi sangat rendah, biaya total (termasuk pengeluaran bukan bunga) bagi peminjam menjadi sangat tinggi, ukuran pasar uang tetap saja kecil, dan volume dana yang dimobilisasikan serta variasi jasa keuangan menjadi tetap terbatas. Lebih lanjut, mengingat biaya transaksi di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan, jasa-jasa kredit dan perbankan cenderung lebih terkonsentrasi di perkotaan.
Kebijaksanaan dan regulasi keuangan, termasuk pembatasan tingkat bunga dan kecurigaan terhadap para pengijon serta rentenir, menyebabkan lebih parahnya kondisi tersebut di atas, sehingga berakibat lebih terkonsentrasinya kredit murah kepada beberapa tangan saja. Hanya sebagian kecil saja dari masyarakat dapat mempunyai akses kepada kredit formal, melalui LIK yang nyatanya sulit dikatakan layak dan hanya dapat menawarkan jasa pinjaman, bukan fasilitas tabungan. Dana kredit datangnya dari pemerintah, bank sentral, dan negara/lembaga donor, sedangkan keterbatasan intermediasi antara penabung lokal dan investor lebih memarakkan kesenjangan tingkat penerimaan marjinal untuk suatu investasi.8)
Argumen-argumen di atas tidak lagi lebih menitik-beratkan penilaian terhadap tingkat bunga saja namun juga mempermasalahkan peranan LIK, khususnya bagaimana seharusnya suatu LIK yang mandiri dapat dirangsang dan dibangun. Pertanyaan: "Berapa suku bunga?" walaupun masih tetap penting kini selalu disertai dengan pertanyaan yang setara: "Bagaimana kelembagaannya?" Menjangkau masyarakat banyak dengan jasa keuangan tidaklah cukup hanya dengan mempromosikan suatu bentuk kelembagaan khusus saja. Walaupun banyak laporan tentang bentuk LIK yang mungkin cocok, terutama untuk pedesaan, namun sedikit sekali yang membahas tentang dimensi organisasi dari LIK tersebut.9)
Mengapa Membangun "Sistem Intermediasi Keuangan"?
Dari uraian di atas setidaknya ada tiga tesis tentang perlunya membangun "sistem intermediasi keuangan", dimana substansinya lebih pada kelembagaan koperasi, dibandingkan hanya membangun pola atau skim perkreditan, yang substansinya lebih kepada program perkreditan sebagaimana yang telah berlangsung selama ini.
Tesis pertama adalah pada pengertian yang keliru (false understanding) terhadap prinsip koperasi, dimana intermediasi keuangan pada koperasi para peminjam dan penabung adalah pemilik lembaga koperasinya. Dalam pengertian ini, koperasi menjadi organisasi keuangan yang tertutup, yang hanya mengandalkan sumberdaya yang ada pada dirinya sendiri. Upaya untuk memobilisasikan permodalan dari masyarakat dianggap sesuatu yang diharamkan dan sangat dilarang. Akibatnya, koperasi akan terus mendapatkan tingkat penerimaan marjinal yang rendah dan akan sulit berkembang.
Tesis kedua, sebagaimana telah dibahas diatas secara lebih mendalam, adalah ketergantungan, koperasi kepada kredit program dari pemerintah dalam mengembangkan usahanya yang membuat mereka terlena dan tidak berkembang. Upaya pemupukan permodalan melalui program perkreditan pemerintah menimbulkan kurangnya inisiatip dari gerakan koperasi untuk memupuk dan mengembangkan sumber-sumber permodalan lainnya, terutama dari masyarakat, karena sumber permodalan tersebut tidak semenarik sumber permodalan dari program pemerintah.
Jika permasalahan mendasar tersebut telah dapat diatasi dengan berbagai upaya yang basisnya dari gerakan koperasi sendiri, maka akan muncul tesis ketiga, yaitu kerjasama antar koperasi untuk memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada pada gerakan koperasi agar mendapatkan tingkat penerimaan terhadap investasi (ROI) yang tinggi. Melalui pengintegrasian kelembagaan maupun kegiatan tersebut upaya pemupukan modal harus lebih diarahkan untuk memobilisasikan dana ekstemal guna membiayai investasi yang dapat memberikan pendapatan yang tinggi.
Rakyat kecil tidak akan mempercayai lembaga yang labil. Rumahtangga pedesaan umumnya tahu jika suatu lembaga secara ekonomis tidak mantap maka lembaga tersebut tidak akan langgeng. Bila mereka percaya bahwa lembaga ekonomi tersebut tidak akan langgeng maka mereka cenderung untuk menunggak dan berbuat sesuatu sebagai tindakan "mumpungan". Hal ini sangat berbahaya dalam pembangunan koperasi karena citranya akan memburuk. Pada saat ini kebanyakan Koperasi melaksanakan kredit program dengan suku bunga yang tidak cukup untuk menutupi biaya administrasi dan kerugian karena tunggakan. Mereka menjadi sangat tergantung kepada program-program pemerintah agar bisa melanjutkan usahanya, padahal kelanggengan merupakan faktor yang sangat penting bagi suatu sistem keuangan.
Pagu bunga kredit yang ditetapkan pada kredit program melalui koperasi merupakan suatu faktor penting yang memberikan dampak langsung pada keragaan koperasi. Walaupun hal tersebut dapat dikompensasikan dengan rendahnya biaya dana, bunga yang telah ditetapkan tersebut tidaklah setara dengan risiko dan biaya administrasi untuk melaksanakan program tersebut. Oleh karena itu sudah sewajamya jika pemerintah melepaskan pagu bunga untuk semua kredit program dan mengizinkan koperasi untuk menetapkan tingkat bunga pinjaman mereka sesuai dengan biaya dana, kerugian tunggakan dan biaya administrasinya. Hal ini diharapkan akan dapat memperbaiki efisiensi alokasi sumberdaya, meningkatkan kelayakan keuangan dan kelangsungan program kredit, dan lembaga koperasinya sendiri. Ini juga akan dapat mendorong koperasi untuk meminjamkan lebih banyak kredit sehingga akan meningkatkan penyediaan kredit dan memperluas akses usaha mikro untuk memperoleh kredit.
Usaha mikro sangat menghargai akses tersebut daripada kredit yang murah tapi sulit didapat. Tingkat bunga yang rendah tidaklah sepenting tingkat kepastian bahwa kredit tersedia dan dalam jumlah yang cukup, dengan prosedur dan persyaratan yang ringan, dan dengan waktu tunggu yang tidak terlalu lama. Bentuk kelembagaan, dalam kasus apapun, bukanlah syarat untuk keberhasilan. Kebijaksanaan, perilaku dan praktek manajemen lebih merupakan hal-hal pokok yang perlu diimplementasikan. Beberapa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) mungkin saja sangat baik sebagai LIK karena baiknya mekanisme penagihan dan penekanan biaya transaksi yang mereka terapkan, namun, tidak semua KSP baik. Koperasi yang baik adalah koperasi yang tidak bergantung kepada dana kredit program dari pemerintah, tetapi berusaha untuk mendapatkan dana dengan tingkat bunga pasar dan menggunakannya sesuai dengan keuntungan komparatip yang mereka punyai. Mereka harus mengatasi permasalahan yang selalu menghambat gerak mereka sebagai lembaga ekonomi yang tidak meninggalkan semangat sosial dari koperasi. Jika mereka tidak dapat mengatasi "conflict of interest", yang dalam hal ini, dengan lebih mengutamakan kesehatan keuangan, maka mereka tidak akan dapat sukses sebagai LIK.
Pemerintah dan Bank Indonesia memainkan peranan yang sangat besar dalam pengaturan kredit untuk koperasi dan usaha mikro di Indonesia. BI pada masa lalu lebih merupakan bank pembangunan yang mengkontribusikan dananya pada pasar kredit dan mengarahkannya melalui keputusan yang mereka tetapkan, bukan sebagai "lender of last resort" sebagaimana di negara lainnya. Namun demikian, murahnya dana yang diberikan menjadikan koperasi tidak terdorong untuk memobilisasikan dana tabungan dan membangun sumberdaya keuangannya melalui kegiatan-kegiatan yang menguntungkan. Bantuan dari pemerintah dianggap dapat menggantikan sumberdaya lokal. Akibatnya koperasi menjadi terbiasa bersikap demikian dan pada saat yang sama hal tersebut akan merangsang pula para peminjam yang sebenamya tidak mempunyai peluang investasi yang layak, kecuali untuk konsumsi yang tidak perlu. Ketika saatnya tiba untuk "phasing out", koperasi dan para peminjam ini belum siap untuk membayar bunga "riil", dan rencana untuk memobilisasikan dana tabunganpun belum ada. Untuk merangsang koperasi memobilisasikan dana, pemerintah hendaklah secara bertahap meningkatkan bunga pinjaman likuiditasnya, atau mengurangi "share"nya dengan mendorong koperasi untuk jangka waktu tertentu meningkatkan dananya sendiri. Ini akan mendorong koperasi untuk lebih dapat bersaing terhadap lembaga ekonomi lainnya. Kompetisi dalam memobilisasikan dana tersebut akan memperbaiki efisiensi antar LIK dan akan menurunkan biaya intermediasi.


Pada saat ini terdapat beraneka jenis jasa keuangan yang ditawarkan baik oleh lembaga keuangan formal maupun informal, tetapi pada prakteknya instrumen tersebut tidaklah terlalu jauh berbeda dan hanya berjangka pendek. Pemerintah hendaknya mendorong dan meningkatkan jenis pelayanan jasa keuangan yang terdapat di masyarakat, khususnya yang jangka waktu jatuh temponya lebih lama. Asset dengan jatuh tempo yang lebih lama seperti penyertaan modal pemerintah, asuransi jiwa dan kerugian, dan lainnya, hendaknya tersedia bagi penabung dan investor dengan lebih banyak pilihan sehingga dapat meningkatkan komponen asset keuangan dari tabungan mereka. Tabungan lokal harus diarahkan untuk kepentingan khusus lokal dan tabungan pedesaan seharusnya dicegah agar tidak terkuras keluar dan mengalir ke perkotaan.
Koperasi saat ini dapat dikatakan telah menunjukkan beberapa hasil yang menggembirakan pada tingkat lokal, namun tidak terintegrasi dengan baik dengan koperasi lainnya. Adalah sangat penting bagi koperasi untuk membangun dan mengembangkan suatu jaringan keuangan sendiri. Sebagai LIK, suatu koperasi hendaknya saling mempunyai akses dengan koperasi lainnya sehingga dapat menyalurkan dana surplus dari suatu koperasi kepada koperasi lainnya yang kekurangan dan kekayaan yang mengganggur pada suatu bagian dari jaringan tersebut dapat dimanfaatkan secara efisien. Oleh karena itu suatu koperasi hendaknya tidak terpilah-pilah dari jaringan kerjasama antar sesamanya.
Integrasi intermediasi keuangan oleh koperasi kedalam jaringan yang lebih besar, pada saat yang sama, akan membawa manfaat maupun kerugian. Keuntungan potensial yang dapat diperoleh antara lain adalah kemungkinan untuk meningkatkan basis modal, memanfaatkan skala ekonomi, dan menurunkan biaya transaksi. Juga dengan adanya jaringan kerjasama akan melahirkan kepercayaan atas status mereka sebagai lembaga yang "langgeng", terutama dengan kemungkinan adanya supervisi kelembagaan. Jaringan kerjasama tersebut juga membuka kemungkinan untuk membangun jaringan pelayanan keuangan yang lebih luas dan terintegrasi. Risiko dan bahaya yang mungkin timbul juga sangat penting untuk diwaspadai. Akses terhadap dana murah yang mungkin didapatkan dari jaringan akan menurunkan "greget" koperasi untuk memobilisasikan dana tabungan lokal.
Dari argumen-argumen diatas kiranya upaya untuk membangun suatu sistem keuangan koperasi yang mandiri menjadi sangat urgen. Bagaimana sistem tersebut dibangun, bagaimana peraturan/perundangan yang dibutuhkan harus dibuat, maupun bagaimana aspek intemal sistem tersebut harus ditata, kiranya masih merupakan pekerjaan yang sangat besar untuk dibahas hanya pada kesempatan ini. Namun kiranya tidaklah berlebihan jika kita mengkaji pengalaman negara lain dalam membangun sistem keuangan untuk gerakan koperasi. Untuk itu kami mencoba untuk memaparkan model pembangunan sistem keuangan tersebut di negara-negara Philippina, Portugal dan Amerika Serikat sebagaimana berikut ini.
Pengalaman Philippina. Portugal dan Amerika Serikat.
Sebagai komparasi untuk membahas pembangunan sistem keuangan koperasi di Indonesia, berikut akan diulas peranan LIK dalam pembangunan terutama di pedesaan di Philippina, Portugal, dan Amerika Serikat (AS). Ulasan ini sangat penting untuk dapat menunjukkan peran yang dapat diemban oleh koperasi dalam pembangunan di Indonesia dengan meneladani pengalaman negara lain dalam menyusun dan menerapkan kebijaksanaan sistem keuangan koperasinya. Tentu saja, sebagai komparasi, tidak semua hal yang baik pada mereka akan baik pula untuk kita terapkan.
Sebagaimana di negara berkembang lainnya, pemerintah Philippina dan Portugal juga melaksanakan upaya-upaya untuk membangun pedesaannya. Di kedua negara ini pemerintah merupakan satu-satunya lembaga politik yang mempunyai kekuasaan, aparatur dan sumberdaya untuk melaksanakan keinginan tersebut. Namun demikian, masing-masing menerapkan kebijaksanaannya dengan strategi yang berbeda. Keduanya sama-;sama membangun lembaga-lembaga keuangan untuk memenuhi permintaan para nasabah/petani kecil akan jasa keuangan di pedesaan.

Di Philippina sejumlah besar bank unit desa telah dibangun dalam dua dekade terakhir. Bank bank ini diberi kewenangan khusus untuk beroperasi di tingkat pedesaan sebagai satu kesatuan unit bank. Pada awal tahun 1980an ada kira-kira 1.167 bank desa beroperasi dengan kewenangan khusus tersebut.10) Di lain pihak, Portugal membangun Koperasi Kredit Kerjasama Pertanian (selanjutnya akan disingkat dengan CCAM sesuai dengan singkatan bahasa Portugis Caixas de Credito Agricola Mutno), semacam koperasi simpan pinjam, untuk beroperasi pada "setting" yang mirip, yaitu suatu distrik pedesaan atau pedukuhan (conselhos).11) Kesemuanya merupakan kebijaksanaan kelembagaan yang jelas untuk memenuhi kebutuhan akan jasa keuangan. Satu merupakan bank swasta kecil dengan penyertaan saham pribadi, sedangkan di lain pihak merupakan sebuah koperasi yang dibentuk oleh anggota yang umumnya petani. Namun demikian, keduanya menghadapi permasalahan dan tantangan yang tidak terlalu berbeda.
Philippina. Untuk memacu pembangunan, Philippina juga mengikuti jejak negara-negara berkembang lainnya. Di Philippina pembangunan sektor pedesaan merupakan prioritas utama. Peningkatan produktivitas pertanian, khususnya beras, dianggap sangat essensial bagi pembangunan ekonomi. Dihadapkan dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat dan peningkatan impor beras, pada tahun 1961 pemerintah mulai bekerja serius untuk mencapai swasembada dalam produksi beras melalui kebijaksanaan revolusi hijau. Pada tahun 1966 pemerintahan Marcos memperkenalkan program empat-tahunan swasembada beras.12) Pada tahun 1973 pemerintah memperkenalkan lagi program bam yang diberi nama Masagana-99 (M-99). Kredit murah dikombinasikan dengan subsidi pupuk dan pelayanan penyuluhan untuk mencapai swasembada beras dan mengembangkan surplus untuk ekspor.
Menggunakan sekitar 6.000 teknisi, jutaan peso, sejumlah besar subsidi pupuk, kebijaksanaan harga dan irigasi, M-99 merupakan program peningkatan produksi pangan yang paling ambisius yang pemah diterapkan di Philippina.13) Target pangan memang tercapai; untuk peri ode 1973-1979 tambahan produksi padi adalah 5,3 juta metrik ton, ekuivalen dengan 3,2 juta metrik ton beras, Namun demikian biaya dari program tersebut sangatlah menakjubkan. Untuk musim tanam periode 1973 -1980 perkiraan biaya yang telah dikeluarkan pemerintah adalah sekitar P 2,1 milyar.14)
Pemerintah menggunakan pola kredit supervisi untuk mempromosikan program M-99 dan kredit supervisi lainnya yang menjamur kemudian. Dengan pola ini, kredit tanpa agunan dengan bunga rendah disalurkan melalui Bank Nasional Philippina (Philippine National Bank) kepada bank-bank desa, selanjutnya bank desa meminjamkannya kepada petani atau koperasi, Dana yang dipinjamkan tersebut didapat dari tabungan deposito khusus dan melalui dana likuiditas bank sentral,
Sumber-sumber dana ini menimbulkan dampak "spillover" serius dan negatip terhadap pasar keuangan pedesaan. Akses yang sangat mudah untuk mendapatkan uang murah melahirkan intermediasi keuangan yang menyenangkan dalam ekonomi pedesaan, namun nobilisasi tabungan menjadi terabaikan.15) Tidak ada dorongan sama sekali untuk memobilisasikan tabungan karena uang yang didapatkan merupakan uang yang sangat murah. Bank desa nyatanya hanya merupakan saluran dari pemerintah untuk mentransfer kredit murah, dan hanya memberikan kesempatan yang sangat terbatas untuk menunjukkan fungsi riil dari perbankan, seperti diversifikasi portofolio, menyebarkan fisiko, dan intermediasi keuangan,
Kredit murah dan pentargetan pinjaman menyebabkan kelebihan permintaan terhadap kredit institusional. Hasilnya adalah penjatahan kredit karena bank menjadi lebih selektip dalam memberikan kredit. Dengan demikian hanya petani-petani besar saja, yang "bankable" dan mempunyai jaminan dan asset lainnya, yang dapat mengambil manfaat dari kredit kelembagaan yang murah tersebut, Dampak "crowding out" ini melemparkan para petani kecil ke genggaman pasar kredit informal, satu-satunya sumber kredit yang tersedia untuk mereka.16) Subsidi, sebagai bagian dari kredit, sebagian besar dimanfaatkan oleh para tengkulak, bukan kelompok sasaran: peminjam yang merupakan petani kecil,
Bukti lain menunjukkan bahwa manfaatnya banyak dinikmati oleh para pemasok, pedagang beras dan konsumen, dengan selain para petani sasaran.17) Dengan demikian dampak terhadap pemilikan sumberdaya dari kredit bersubsidi ini tidaklah seperti yang diharapkan. Para petani kecil yang sebenamya mampu menyerap sekitar 73% dari seluruh kredit hanya menikmati sebanyak 32% dari jumlah kredit yang disalurkan. Pada kenyataannya telah teIjadi transfer pendapatan riil dari para petani berpendapatan kecil kepada para petani berpendapatan tinggi.18) Untuk memperbaiki kondisi tersebut, dewasa ini berbagai ragam lembaga mandiri, terutama koperasi, telah dibentuk untuk kepentingan berbagai kelompok khusus. Pengembangan hubungan kerjasama antara lembaga perbankan dengan organisasi petani akan memperbaiki akses petani kecil dan golongan ekonomi lemah lainnya terhadap jasa-jasa keuangan.
Sistem koperasi kelihatannya merupakan sistem yang dinilai sangat rendah diantara berbagai sistem organisasi keuangan yang ada di negeri ini. Kegagalan dari kebanyakan koperasi yang memberikan gambaran buruk kepada gerakan koperasi secara keseluruhan memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap sikap nasional tersebut. Pada kenyataannya sistem kredit koperasi masih dianggap sebagai sebuah segmen dari pasar kredit informal di Philippina. Sikap terhadap koperasi ini secara pasti akan berubah di masa datang. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan betapa pentingnya peranan koperasi dalam sistem keuangan secara keseluruhan.19)
Portugal. CCAM di Portugal mempunyai sejarah yang lebih panjang daripada bank desa di Philippina. Namun demikian, kerangka kelembagaan dan penyediaan kredit pertanian di Portugal mengalami perubahan yang dramatis pada tahun 1980an. Pada dekade sebelumnya kredit program disalurkan melalui Departemen Pertanian atau melalui bank komersial yang sekarang ini dinasionalisasikan. Namun pada tahun 1980 skenario ini berubah ke dalam bentuk desentralisasi ke dalam jaringan ekstensip CCAM.20)
Aktivitas kredit di pasar keuangan Portugal masa pertama tahun 1980an telah terjadi penurunan yang tajam baik kredit pertanian maupun kredit bukan pertanian pada periode 1980-1985, namun penurunan nilai riil dari kredit baru untuk pertanian lebih tajam daripada kredit bukan pertanian. Namun peranan relatip dari koperasi kredit pertanian berskala kecil terhadap penyediaan total kredit cukup berkesan, meningkat dari sekitar seperlima menjadi dua pertiga.
Pada periode 1984-1985 hingga saat ini, CCAM maju lagi ke fase berikutnya dari evolusi mereka, dimana mobilisasi tabungan lokal menjadi lebih terlihat lagi sebagai sumber dana utama dan Dana Likuiditas Pusat (Caixa Central) didirikan untuk bertindak sebagai "clearinghouse" dari jaringan nasional CCAM. Pada saat yang sama negara menerapkan kebijakan liberalisasi pasar keuangan. Hasilnya menjelang pertengahan 1980an pasar keuangan pedesaan telah dilayani oleh lembaga perantara keuangan yang lebih sehat dan lebih kompetitip daripada yang ditunjukkannya pada akhir1970an.21)
Selain kebijaksanaan liberalisasi ekonomi Portugal pada era 1980an, pengendalian harga komoditi pertanian juga membatasi nilai tukar produk pertanian untuk masa itu. Pada masa yang sama turunnya permintaan pasar yang diakibatkan resesi awal 1980an turut meningkatkan risiko investasi pertanian.22) Akibatnya, jaringan bank komersial mulai menjatahi nasabah kecil dan riskan tersebut dari portofolio mereka. Koperasi kredit pertanian, di lain pihak, dilarang untuk turut bertindak serupa. Berdasarkan perundangan mereka hanya boleh memberikan pinjaman kepada sektor pertanian karena mereka memang dibatasi untuk memberikan pinjaman hanya kepada anggota.23) Akibatnya, CCAM secara kurang pas mewarisi pangsa yang lebih besar dari portofolio pertanian dalam ekonomi Portugal.
CCAM berhubungan erat dengan tiga lembaga keuangan di Portugal. Bank Sentral bertanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan dan mengaudit rekening mereka. CCAM dibebaskan dari persyaratan cadangan minimum (reserve requirement). Deposito CCAM juga dibebaskan dari pembayaran pajak pendapatan, sehingga jika dikombinasikan dengan pembebasan kewajiban cadangan minimum maka akan memberikan keunggulan kompetitip atas bank-bank komersial, terutama dalam hal menawarkan tingkat bunga deposito yang tinggi. Namun demikian sebenamya keunggulan kompetitip ini tidaklah terlalu banyak artinya karena CCAM diharuskan pula untuk memberikan kontribusinya sebagai cadangan pada dana umum (general fund) Caixa Central yang besamya sama dengan persyaratan cadangan minimum yang harus disediakan oleh bank komersial.
Sejak dibentuknya Caixa Central pada tahun 1984, sebanyak 190 CCAM telah menjadi anggotanya. Sebagian besar memang masih didorong oleh pemerintah karena CCAM dilarang mendepositokan kelebihan cadangannya pada bank-bank komersial. Dengan tidak adanya outlet yang boleh menjadi "clearing house" untuk mereka maka CCAM tidak mempunyai pilihan lain kecuali bergabung dengan Caixa Central.
Lembaga ketiga yang berkaitan dengan CCAM adalah FENACAM. Ini adalah federasi tingkat nasional dari CCAM yang bertindak sebagai organisasi pelobby (lobbying organization) bagi anggotanya secara nasional. Fenacam juga menawarkan bantuan teknis profesional dan pelayanan audit untuk anggotanya. Selain itu FENACAM membangun sistem informasi terpadu pada jaringan kerja antar CCAM dan memberikan pelayanan lainnya seperti "checkbook", kalender, dan lain sebagainya. Koperasi anggota menyumbangkan 2% SHUnya untuk mendukung FENACAM. Yang lebih menarik lagi, FENACAM juga adalah pemegang saham pada Caixa Central bersama-sama dengan anggota CCAM lainnya.
Pertumbuhan yang cepat dari koperasi kredit di Portugal tersebut mengilustrasikan beberapa pelajaran penting tentang pembentukan dan ekspansi lembaga keuangan pada pasar uang pedesaan bagi negara-negara berkembang lainnya. Pertama, adalah nyata bahwa dengan insentip yang tepat koperasi kredit dapat dengan sukses memobilisasikan dana tabungan. Sampai pertengahan tahun 1980an dengan memobilisasikan dana lokal, CCAM telah berhasil meningkatkan posisi otonomi keuangannya dan telah berhasil menjadi penyuplai terbesar untuk kredit mikro pertanian di negerinya. Pelajaran kedua yang dapat ditarik dari pengalaman CCAM ini adalah; temyata penabung dapat ditempatkan pada posisi yang sangat riskan dalam jaringan kerja koperasi kredit yang tingkat otonominya masih relatip sangat rendah dan pada lingkungan peraturan yang masih lemah.

Amerika Serikat.24) Petani dan petemak di AS mendapatkan lebih daripada sepertiga kebutuhan finansialnya dari Sistem Kredit Usaha Tani (Farm Credit System = FCS), sebuah lembaga keuangan berbentuk koperasi yang dibentuk, dimiliki dan dikontrol oleh para nasabahnya sendiri, yaitu petani dan petemak tadi. Koperasi Pemasaran, Koperasi penyedia sarana usaha tani, dan koperasi jasa mendapatkan sekitar 65% dari dana ekstemal yang mereka butuhkan dipinjam dari FCS. Nasabah lainnya termasuk nelayan, penduduk desa yang bukan petani, dan pengusaha yang melayani kebutuhan usaha tani. Menjelang pertengahan tahun 1970an nasabah FCS ini setiap tahunnya meminjam sekitarUS$30 milyar darinya.
FCS diorganisasikan berdasarkan distrik. Setiap 12 buah distrik mempunyai sebuah Federal Land Bank (FLB), sebuah Federal Intermediate Credit Bank (FICB), dan sebuah Bank for Cooperatives (BC) yang beroperasi dibawah satu payung pengurus (Board of Director) pembuat kebijaksanaan, yang lebih dikenal sebagai Dewan Direktur FCS (BDFCS) untuk daerah tersebut. Selanjutnya, sebuah BC Pusat, yang dimiliki oleh BC Distrik, berlokasi di Denver, Colorado. Dewan Direktumya terdiri dari 12 orang wakil dari (BDFCS), ditambah seorang direktur yang diangkat oleh Gubemur FCA (Farm Credit Administration) dengan persetujuan dari (BDFCS) federal.
FLB membuat pinjaman hipotek jangka panjang melalui lebih dari 500 koperasi FLB lokal. Koperasi yang dimiliki para petani ini selanjutnya memiliki FLB. Bank ini juga memberikan pinjaman kepada penduduk desa lainnya yang bukan petani.
FICB menyediakan dana pinjaman untuk lebih dari 400 koperasi kredit produksi lokal. Petani, petemak, dan nelayan meminjam dari koperasi ini untuk keperluan operasional musiman dan untuk membiayai investasi atau pembiayaan jangka panjang sampai 7 tahun. Bank ini menyediakan dana untuk pinjaman usaha tani kepada sekitar 100 LIK lainnya, termasuk perusahaan kredit pertanian dan bank komersial.
BC menyediakan pembiayaan untuk fasilitas dan pinjaman operasional kepada lebih dari 3000 koperasi pemasaran, koperasi penyedia sarana pertanian, dan koperasi jasa lainnya yang memiliki BC. BC-sentral bekerjasama dengan mereka untuk memberikan pinjaman kepada koperasi yang lebih besar sebagai salah satu cara untuk menyebarkan risiko. Bank ini melayani bank-bank lainnya di dalam sistem dengan mengoperasikan "money desk" yang mentransfer dana dari satu bank ke bank lainnya
Para petani, petemak dan nelayan yang menjadi anggota koperasi memilih pengurus (dewan direktur) koperasi mereka; koperasi FLB, koperasi kredit produksi, ataupun koperasi BC lokal. Tiga kelompok kepengurusan ini mewakili anggota untuk memilih dua orang dari masing-masing kepengurusan pada BDFCS. Anggota pengurus yang ketujuh diangkat oleh Gubemur FCA. Dewan lokal dan distrik menentukan kebijaksanaan dan mengangkat manajemen puncak untuk organisasi mereka.
FCS dibimbing dan dibina oleh FCA, sebuah badan pemerintah yang independen yang  perongkosannya dibiayai oleh bank dan koperasi anggota FCS. Kebijaksanaan FCA dibuat oleh 13 anggota pengurus FCS federal. Pengurus ini juga mengangkat Gubemur FCA, yang merupakan kepala administrasinya. Anggota pengurus diangkat oleh Presiden, dengan persetujuan Senat, setelah dia mempertimbangkan tiga orang calon yang diusulkan oleh pengurus koperasi FLB, koperasi kredit produksi, dan koperasi yang turut memiliki dan menggunakan BC di setiap distrik.
Anggota pengurus FCS federal yang ketiga belas diangkat oleh Menteri Pertanian sebagai wakilnya di kepengurusan. Semua pengurus yang pernah diangkat oleh Presiden sejak kepengurusan terbentuk pada tahun 1953 adalah calon yang diusulkan oleh pengurus koperasi yang dipilih oleh anggota. Oleh karena itu petani anggota, melalui pengurus koperasi lokal, terwakili dalam pembuatan kebijaksanaan FCS secara nasional. FCS, melalui kerjasama dengan agen-agen sekuritas dan perbankan, mendapatkan sebagian besar dana pinjamannya dengan cara menjual sekuritas melalui agen sekuritas patungan di pasar uang New York.
Sejumlah 37 buah bank FCS pada pertengahan tahun 1970an mendirikan Farmbank Services di Denver, Colorado. Organisasi ini mengoperasikan Farmbank Information and Research Service dan juga memberikan pelayanan pada bidang-bidang seperti latihan manajemen dan hubungan masayarakat bila bank-bank tersebut melihat bahwa tahapan tertentu dari program tersebut akan lebih efektip dan efisien bila dilaksanakan secara terpadu di sana daripada bila dilaksanakan dengan basis lokal atau distrik.
Beberapa Hal Pokok dalam Membangun Sistem Keuangan Koperasi
Dalam situasi ekonomi global yang semakin ringkih saat ini, tantangan utama bagi ekonomi kita saat ini adalah penyesuaian keadaan dengan semakin sedikitnya penerimaan dari minyak dan perbaikan stabilitas keuangan dalam jangka pendek, serta memacu pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Di sektor pertanian, issu pokok yang dihadapi pemerintah tetap saja swa-sembada pangan dan bagaimana mempertahankan laju pertumbuhan dan kesempatan kerja, memperbaiki tingkat pendapatan petani, dan memperluas ekspor. Sektor keuangan pedesaan telah memainkan peranan yang sangat penting dalam penyediaan kredit untuk pertanian khususnya, ekonomi pedesaan umumnya, dan masih harus lebih dikembangkan lagi guna menghadapi perubahan kebutuhan dan keterbatasan sektor diluar pertanian.
Kredit mikro di sektor pertanian di Indonesia termasuk kedalam kebijakan fiskal. Ini berarti bahwa sistem keuangan kita belum lagi terlihat sebagai mekanisme untuk mengintegrasikan pasar modal dan memobilisasikan sumberdaya dari unit ekonomi surplus kepada unit ekonomi yang defisit, tetapi lebih terlihat sebagai strategi untuk mentransfer penerimaan pemerintah, melalui kredit bersubsidi, kepada sektor-sektor tertentu dalam kegiatan ekonomi.
Menilik kondisi saat ini, terutama di era reformasi dimana perubahan kebijakan pemerintah tidak lagi merupakan hal yang tabu, kiranya inilah saatnya bagi gerakan koperasi untuk memulai langkah yang lebih besar lagi untuk membangun suatu sistem keuangan koperasi yang mandiri, sehingga ketergantungan koperasi terhadap pemerintah dapat dikurangi, atau bahkan dihilangkan.
Beberapa hal yang harus dikembangkan dalam membangun sistem keuangan koperasi antara lain:
1). Tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan usaha perkreditan oleh koperasi adalah:
a. Memampukan koperasi agar dapat menjadi pusat pelayanan kredit kepada anggota dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota/masyarakat.
b. Menunjang kelancaran pertumbuhan perekonomian antara lain dengan mengatasi dan menghilangkan faktor penghambat pertumbuhan perekonomian seperti ijon dan rentenir.
c. Meningkatkan partisipasi anggota/masyarakat dalam kegiatan koperasi.
d. Diharapkan dengan adanya sistem intermediasi, yang dilaksanakan sebagai bagian kegiatan usaha koperasi, dapat merupakan mekanisme kerja dan embrio lahirnya "lembaga keuangan" yang dimiliki, diatur dan untuk kepentingan masyarakat dan koperasi itu sendiri.
2). Sasaran dari sistem perkreditan melalui koperasi ini dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Memenuhi kebutuhan kredit bagi usaha masyarakat di bidang perdagangan, kerajinan, industri kecil, usaha pertanian dan lain-lain.
b. Meningkatkan penghasilan dan pemerataan pendapatan masyarakat pedesaan.
c. Mewujudkan kesatuan gerak operasional dalam rangka akumulasi dan mobilisasi dana secara horizontal dan vertikal dilingkungan koperasi sehingga peranan koperasi secara keseluruhan merupakan satu potensi nyata dalam pembangunan perekonomian nasional.
d. Melalui sistem perkreditan yang ditangani oleh koperasi diharapkan masyarakat dapat menerima fasilitas kredit dengan prosedur yang mudah dan cepat, dengan persyaratan ringan dan pengawasan untuk efektivitas dan efisiensi usahanya.
e. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana yang dihimpun dari penyisihan sebagian sisa hasil usaha yang diperoleh dari program pengadaan maupun penyaluran dengan tujuan untuk swadaya koperasi dalam sektor permodalan.
f. Semua anggota masyarakat yang telah memperoleh fasilitas pelayanan kredit dari koperasi diarahkan untuk menjadi anggota koperasi yang aktip berpartisipasi.
3). Sistem perkreditan yang dimaksud mempunyai ciri antara lain sebagai berikut:
a. Adanya kemudahan dalam hal mendapatkan kredit dalam bentuk persyaratan yang ringan, prosedumya sederhana dan pelayanan yang cepat.
b. Kredit murah dalam arti suku bunga yang ringan dan terjangkau serta biaya memperoleh kreditnya kecil.
c. Tersedia dana sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dan tepat waktunya.
d. Untuk efisiensi dan efektivitas pelayanan serta mempermudah pengawasan, maka pelayanan kredit kepada anggota/masyarakat dilaksanakan melalui kelompok penerima kredit yang beranggotakan antara 5-10 orang.
e. Pelayanan kredit kepada koperasi/anggota diarahkan kepada kredit serba usaha.
f. Koperasi diberi wewenang penuh dalam rangka penanganan kredit yang disesuaikan dengan tata nilai sosial budaya masyarakat setempat, serta diberi kebebasan untuk memilih.
g. Pelaksanaan berpegang pada azas dan prinsip-prinsip dasar koperasi.
h. Pemberian kredit dilakukan selektip berdasarkan atas pertimbangan kelayakan usaha, bonafiditas dan prioritas program pembangunan.



REFERENCES
1). See Bela Belassa, Policy Reform in Developing Countries (New York: Pergamon Press, 1977), and Edward S.Shaw, Financial Deepening (New York: Oxford University Press, 1973).
2). Dale W.Adam and R.L.Meyer, "Attempting Too Much and Achieving Too Little through Rural Financial Markets," Paper No.1368, AFP-The Ohio State University, June 1987.
3). See Dale W.Adams and D.Graham, "A Critique of Traditional Agriculture Credit Projeds and Policies," Joumal of Development Economics, 8 (1981), pp347-366; Dale W.Adams and R.C.Vogel, "Rural Financial Markets in Low-Income Countries: Recent Controversies and Lessons", World Developing, 14:4 (1986), pp. 477-487.
4). Claudio Gonzales-Vega. "The Ohio State University's Approach to Rural Financial Markets", a Concept Paper, the Ohio State University, 1986.
5). P .Egger , "Banking for the Rural Poor: Lessons from Some Innovative Savings and CreditSchemes", Intemational Labor Review, 125:4, pp. 447-487.
6). A.Bottrall and J.Howell (1980), "Small Farmer Credit Delivery and Institutional Choice", in J.Howell (ed.) Borrowers and Lenders (London: Overseas Development Institute, 1980).
7). The World Bank, World Development Report 1989 (Oxford: Oxford University Press, 1989).
8). Claudio Gonzales-Vega. "Indonesia; Financial Services for the Rural Poor", Report, (Jakarta: USAID, 1982).
9). Dale W.Adams and R.L.Meyer, Op Cit
10).Claudio Gonzales-Vega, "Interest Rate Restridions and Income Distribution", American Joumal of Agricultural Economics, 59:5 (December 1977), pp 973-976; Claudio Gonzales-Vega, "Interest Rate Restridions and the Socially Optimum Allocation of Credit", Saving and Development, 4: I (January, 1980), pp 5-28.
11).Cesar G. Saldana and Roy C. Ybanez, "Management Policies and Operating Performance of Rural Banking Institutions", Paper on ACPC-PIDC-OSU Seminar, Central Bank of the Philippines, Manila, (September 26-27, 1988).
12).Ezequiel de Almeida Pinho, and Douglas.H. Graham, "Agricultural Credit Cooperatives and Restruduring of the Supply of Supply of Agricultural Credit in Portugal: Healthy Innovation or Institutional Collapse?", Paper on the XX Intemational Conference of Agriculture Economics, Buenos Aires, (August 26-Sept. 2, 1988).
13.Nasikun, "Revolusi Hijau dan Masalah Pengangguran di Negara-Negara Berkembang", ("Green Revolution and the Problem of Unemployment in the Developing Countries"), Prisma 9: 10 (October, 1980), p.72,
14).0rlando Sacay, M. Agabin, and C.Tanchoco, "Small Farmers Credit Dilemma", (Manila: Technical Board for Agricultural Credit, 1985).
15).Technical Board for Agricultural Credit, "A Study on the Benefits and Costs of the Masagana-99 Program", (Manila: TBAC, 1981).
16).Gilberto Llanto and P.Neri, "Agricultural Credit Subsidy", Central Bank Review, (October, 1985).
17).Y.Bruce Tolentino, "Current Imperatives and Developments in Philipine Agricultural Credit Policy", Occassiional Paper No.1324, the Ohio State University, March 1987.
18).Orlando Sacay, et al., Op. Cit.
19).Gilberto Llanto and P .Neri, Op. Cit.
20)Mario B.Lamberte and J.Z.Balboosa, "Informal Savings and Credit Institutions in the Urban Areas: the Case of Cooperative Credit Unions", PillS Working Paper No.88-06 (April 1988).
21).Mario B.Lamberte, "The Role and Performance of Cooperative Credit Unions in the Rural Financial Markets: Some Preliminary Results", Paper on ACPC-PIDS-OSU Seminar, Central Bank of the Philippines, Manila (September 26-27, 1988).
22).Gilberto Llanto and P.Neri, Op. Cit.
23).Douglas H. Graham, Op. Cit.
24). Disarikan dari brosur FCS yang dipublukasikan the Farm Credit Administration (FCA), Washington, DC, 2004.

Untuk Download file utuh, Klik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar