Bahan ini akan dipresentasikan pada :
Temu Nasional Strategi dan Kebijakan Pendirian Perusahaan Asuransi Berbadan
Hukum Koperasi
Jakarta, 27-29 Agustus 2013
KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA INTERMEDIASI KEUANGAN UNTUK
PEMBIAYAAN USAHA MIKRO DI SEKTOR PERTANIAN
Oleh:
ACHMAD
H. GOPAR
Pendahuluan
Meskipun
tidak banyak dimengerti, peran dasar koperasi dalam sistem keuangan, terutama
dalam hal penyediaan permodalan, adalah menjadi perantara yang menghubungkan
pihak yang berlebih dan pihak yang kekurangan, atau, seperti di banyak negara
berkembang, adalah menjadi penyalur kredit pemerintah untuk pembangunan. Dalam
cakrawala pandangan ini, koperasi tidaklah berbeda dengan lembaga intermediasi
keuangan (LIK) lainnya. Perbedaan utamanya adalah; jika pada LIK lainnya peminjam
dan pemberi pinjaman adalah jatidiri yang berbeda, maka pada koperasi peminjam
dan pemberi pinjaman adalah pemilik LIK.1)
Sebuah
badan usaha atau sebuah rumahtangga bisa saja memiliki sumberdaya melebihi
peluang investasi yang menguntungkannya atau peluang konsumsinya. LIK
memungkinkan pihak yang surplus untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang lebih
tinggi bagi dananya yang menganggur ataupun konsumsinya yang ditunda sehingga
kelebihan sumberdaya tersebut menghasilkan kepuasan yang lebih tinggi. Sebagaimana
Gonzales-Vega nyatakan, dengan absennya mekanisme keuangan, maka setiap produsen
harus mengongkosi sendiri kegiatannya; dengan kata lain, setiap produsen hanya
dapat menarik keuntungan dari peluang produksinya sampai pada tingkat yang
dimungkinkan oleh sumberdaya yang dimilikinya.2)
Jika
keragaan LIK sangat buruk, maka kontrak ataupun pertukaran secara barter antara
pihak yang surplus sumberdaya dan pihak yang minus sumberdaya menjadi sulit
diwujudkan, jikapun teIjadi akan membutuhkan biaya yang tinggi. Untuk
menurunkan biaya transaksi pertukaran tersebut, koperasi sebagai LIK dapat memberikan
fasilitas untuk terjadinya perpindahan barang dan jasa diantara pihak-pihak
tersebut. Ini dimungkinkan dengan cara memobilisasikan dana dari pihak yang
surplus (tabungan) dan menyalurkannya (pinjaman) kepada pihak yang yang sumberdayanya
terbatas. Bila dana ini digunakan untuk bahan baku dan faktor produksi, maka realokasi
sumberdaya akan terjadi dari pihak yang surplus kepada produsen yang minus,
yang selanjutnya akan meningkatkan produktivitas sumberdaya secara keseluruhan.
Peranan
LIK tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut; misalkan ada dua pihak “A”
dan “B” ingin mengadakan pertukaran melalui barter atau melalui perantara
informal. Misalkan pula bahwa A mempunyai peluang produksi yang sangat bagus, namun
tidak mempunyai sumberdaya sendiri yang cukup untuk kegiatan tersebut,
sedangkan B mempunyai kelebihan sumberdaya namun tidak mempunyai peluang
produksi yang bagus sehingga terpaksa menggunakannya untuk keperluan yang kurang
berdayaguna. Jika tidak ada LIK, maka A akan terpaksa menjadi kurang produktip
karena kekurangan sumberdaya, sedangkan B terpaksa mengkonsumsi kelebihan
sumberdaya tersebut dengan tidak efisien atau menginvestasikannya pada
aktivitas yang kurang menguntungkan dimana "return on investment"
(ROI)nya rendah.
Sistem
keuangan di negara berkembang umumnya bercirikan dengan berbagai fragmentasi: terisolasinya
unit-unit ekonomi dan tidak adanya mekanisme yang efisien untuk mentransfer sumberdaya
antar produsen. Selain tidak terintegrasinya sistem keuangan, juga terdapat
hubungan yang kurang menggembirakan antar kelompok yang tingkat pendapatannya
berbeda. Di dalam lingkungan sistem keuangan yang terpilah-pilah tersebut akan
muncul ketimpangan tingkat pendapatan marjinal terhadap "asset" yang
sangat besar: beberapa unit menerima pendapatan yang sangat besar sedangkan
yang lainnya menerima pendapatan dengan tingkat yang sangat rendah. Perbedaan
tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan iklim, prasarana transportasi, sumber pendapatan,
keterpaduan usaha, besarnya keluarga, kapasitas manajerial, dan nasib baik. Juga karena sifat sistem produksi, misalnya suatu usaha
tani menjadi biasa bila mengalami kesulitan likuiditas pada suatu ketika dan
mempunyai kelebihan likuiditas pada masa panen. Ketimpangan pendapatan antar unit
ekonomi untuk jangka waktu tertentu tersebut menjadi tipikal dengan
meningkatnya pembangunan. Siklus hidup suatu usaha dan terpilah-pilahnya
pemilikan sumberdaya suatu keluarga meningkatkan kebutuhan intermediasi
keuangan. Membantu merealokasikan sumberdaya tersebutlah yang merupakan hal
terpenting bagi suatu LIK untuk dapat disumbangkan dalam pembangunan.3)
Lebih lanjut, LIK tidak saja mengurangi biaya dan risiko
untuk menabung dan meningkatkan penerimaan rata-rata investasi, juga merangsang
menabung, meningkatkan akumulasi modal dan, tentu saja, laju pendapatan.
Sebagai tambahan, sistem intermediasi keuangan yang efisien juga akan meningkatkan
distribusi pendapatan. Perbedaan tingkat pendapatan antar produsen berkaitan
dengan perbedaan kesempatan berproduksi dan kontrol terhadap sumberdaya yang
memungkinkan mereka mengambil keuntungan daripadanya. Selain akses terhadap
kredit memungkinkan kontrol tersebut, sistem intermediasi keuangan dapat
mengeliminasikan salah satu sumber potensial timbulnya kesenjangan laju
pendapatan.4)
Dengan demikian, sistem intermediasi keuangan yang baik akan dapat meningkatkan
laju akumulasi modal, memperbaiki alokasi sumberdaya, dan memperbaiki
distribusi pendapatan.
Kondisi Umum Intermediasi
Keuangan di Negara Negara Berkembang
Intermediasi keuangan di negara-negara berkembang umumnya lebih menekankan
kegiatannya pada sisi pemberian pinjaman/kreditnya saja dibandingkan pada sisi
pemupukan modalnya. Oleh karena itu lazimnya hanya disebut sistem perkreditan
saja. Intermediasi keuangan di beberapa negara berkembang selalu berkaitan
dengan proses pembangunan. Para pakar kredit umumnya sepakat bahwa kredit
memegang peranan yang sangat penting dalam mempercepat laju pertumbuhan,
memperbaiki pengalokasian sumberdaya dan mengurangi ketimpangan distribusi
pendapatan, terutama di pedesaan.5)
Pada periode 1960-70an banyak negara berkembang,
seringkali dengan bantuan yang sangat besar dari negara-negara donor, membangun
sistem perkreditannya dengan mengandalkan pada kebijaksanaan pengendalian
tingkat bunga pinjaman agar tetap dibawah tingkat bunga pasar pada umumnya.
Walaupun peranannya sangat besar namun tidaklah berarti bahwa program kredit
tersebut luput dari berbagai permasaalahan, umumnya program ini memerlukan
jumlah dana yang sangat besar; tingkat pengembalian kredit yang sangat rendah;
sulitnya kaum papa terutama di pedesaan untuk mempunyai akses terhadap kredit
murah; dan masih saja diragukan apakah peningkatan jumlah arus kredit
benar-benar meningkatkan laju pembangunan, terutama di pedesaan. Yang lebih menyedihkan
lagi, banyak dari lembaga intermediasi keuangan yang melaksanakan program
tersebut tidak dapat mandiri.6)
Kredit murah dan kredit yang mempunyai sasaran tertentu saja telah lama mendapat
kecaman dari banyak pengamat, terutama para pakar dari Ohio State University dan
Bank Dunia yang berkeyakinan bahwa kebijaksanaan tersebut melemahkan lembaga
keuangan mikro (LIK).7)
Tingkat bunga kredit mikro yang rendah menyebabkan LIK
juga menawarkan bunga yang rendah kepada penabung potensial, sehingga akan
menurunkan jumlah tabungan dan memaksa LIK bergantung kepada dana murah atau
subsidi dari Bank sentral untuk menjamin likuiditasnya, yang umumnya
dikendalikan oleh penjatahan administratip ataupun politis. Cara pertama akan meningkatkan
biaya transaksi, sedangkan cara terakhir akan menyebabkan timbulnya
"permainan" dalam analisis kelayakan kredit dan/atau "kekeliruan
yang disengaja" oleh peminjam yang basis politisnya kuat, yang pada akhimya
akan menyebabkan kredit macet.
Biaya transaksi yang tinggi merupakan masalah lumrah
untuk sistem perkreditan di negara-negara berkembang. Masalah ini terutama
disebabkan fragmentasi pasar, transaksi yang kecil-kecil, biaya informasi yang
tinggi, dan risiko serta ketidak-pastian yang tinggi. Hal-hal tersebut
mengakibatkan penerimaan bersih bagi penabung menjadi sangat rendah, biaya
total (termasuk pengeluaran bukan bunga) bagi peminjam menjadi sangat tinggi,
ukuran pasar uang tetap saja kecil, dan volume dana yang dimobilisasikan serta
variasi jasa keuangan menjadi tetap terbatas. Lebih lanjut, mengingat biaya transaksi
di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan, jasa-jasa kredit dan perbankan
cenderung lebih terkonsentrasi di perkotaan.
Kebijaksanaan dan regulasi keuangan, termasuk pembatasan
tingkat bunga dan kecurigaan terhadap para pengijon serta rentenir, menyebabkan
lebih parahnya kondisi tersebut di atas, sehingga berakibat lebih terkonsentrasinya
kredit murah kepada beberapa tangan saja. Hanya sebagian kecil saja dari masyarakat
dapat mempunyai akses kepada kredit formal, melalui LIK yang nyatanya sulit dikatakan
layak dan hanya dapat menawarkan jasa pinjaman, bukan fasilitas tabungan. Dana
kredit datangnya dari pemerintah, bank sentral, dan negara/lembaga donor,
sedangkan keterbatasan intermediasi antara penabung lokal dan investor lebih
memarakkan kesenjangan tingkat penerimaan marjinal untuk suatu investasi.8)
Argumen-argumen di atas tidak lagi lebih menitik-beratkan
penilaian terhadap tingkat bunga saja namun juga mempermasalahkan peranan LIK,
khususnya bagaimana seharusnya suatu LIK yang mandiri dapat dirangsang dan
dibangun. Pertanyaan: "Berapa suku bunga?" walaupun masih tetap penting
kini selalu disertai dengan pertanyaan yang setara: "Bagaimana
kelembagaannya?" Menjangkau masyarakat banyak dengan jasa keuangan
tidaklah cukup hanya dengan mempromosikan suatu bentuk kelembagaan khusus saja.
Walaupun banyak laporan tentang bentuk LIK yang mungkin cocok, terutama untuk
pedesaan, namun sedikit sekali yang membahas tentang dimensi organisasi dari LIK
tersebut.9)
Mengapa Membangun "Sistem Intermediasi Keuangan"?
Dari
uraian di atas setidaknya ada tiga tesis tentang perlunya membangun "sistem
intermediasi keuangan", dimana substansinya lebih pada kelembagaan
koperasi, dibandingkan hanya membangun pola atau skim perkreditan, yang
substansinya lebih kepada program perkreditan sebagaimana yang telah berlangsung
selama ini.
Tesis pertama
adalah pada pengertian yang keliru (false understanding) terhadap prinsip
koperasi, dimana intermediasi keuangan pada koperasi para peminjam dan penabung
adalah pemilik lembaga koperasinya. Dalam pengertian ini, koperasi menjadi
organisasi keuangan yang tertutup, yang hanya mengandalkan sumberdaya yang ada
pada dirinya sendiri. Upaya untuk memobilisasikan permodalan dari masyarakat
dianggap sesuatu yang diharamkan dan sangat dilarang. Akibatnya, koperasi akan terus mendapatkan tingkat
penerimaan marjinal yang rendah dan akan sulit berkembang.
Tesis
kedua, sebagaimana telah
dibahas diatas secara lebih mendalam, adalah ketergantungan, koperasi kepada
kredit program dari pemerintah dalam mengembangkan usahanya yang membuat mereka
terlena dan tidak berkembang. Upaya pemupukan permodalan melalui program
perkreditan pemerintah menimbulkan kurangnya inisiatip dari gerakan koperasi
untuk memupuk dan mengembangkan sumber-sumber permodalan lainnya, terutama dari
masyarakat, karena sumber permodalan tersebut tidak semenarik sumber permodalan
dari program pemerintah.
Jika permasalahan mendasar tersebut telah dapat diatasi
dengan berbagai upaya yang basisnya dari gerakan koperasi sendiri, maka akan
muncul tesis ketiga, yaitu kerjasama
antar koperasi untuk memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada pada gerakan
koperasi agar mendapatkan tingkat penerimaan terhadap investasi (ROI) yang
tinggi. Melalui pengintegrasian kelembagaan maupun kegiatan tersebut upaya
pemupukan modal harus lebih diarahkan untuk memobilisasikan dana ekstemal guna
membiayai investasi yang dapat memberikan pendapatan yang tinggi.
Rakyat
kecil tidak akan mempercayai lembaga yang labil. Rumahtangga pedesaan umumnya
tahu jika suatu lembaga secara ekonomis tidak mantap maka lembaga tersebut
tidak akan langgeng. Bila mereka percaya bahwa lembaga ekonomi tersebut tidak
akan langgeng maka mereka cenderung untuk menunggak dan berbuat sesuatu sebagai
tindakan "mumpungan". Hal ini sangat berbahaya dalam pembangunan
koperasi karena citranya akan memburuk. Pada saat ini kebanyakan Koperasi
melaksanakan kredit program dengan suku bunga yang tidak cukup untuk menutupi
biaya administrasi dan kerugian karena tunggakan. Mereka menjadi sangat
tergantung kepada program-program pemerintah agar bisa melanjutkan usahanya,
padahal kelanggengan merupakan faktor yang sangat penting bagi suatu sistem
keuangan.
Pagu
bunga kredit yang ditetapkan pada kredit program melalui koperasi merupakan
suatu faktor penting yang memberikan dampak langsung pada keragaan koperasi.
Walaupun hal tersebut dapat dikompensasikan dengan rendahnya biaya dana, bunga
yang telah ditetapkan tersebut tidaklah setara dengan risiko dan biaya administrasi
untuk melaksanakan program tersebut. Oleh karena itu sudah sewajamya jika
pemerintah melepaskan pagu bunga untuk semua kredit program dan mengizinkan
koperasi untuk menetapkan tingkat bunga pinjaman mereka sesuai dengan biaya
dana, kerugian tunggakan dan biaya administrasinya. Hal ini diharapkan akan
dapat memperbaiki efisiensi alokasi sumberdaya, meningkatkan kelayakan keuangan
dan kelangsungan program kredit, dan lembaga koperasinya sendiri. Ini juga akan
dapat mendorong koperasi untuk meminjamkan lebih banyak kredit sehingga akan
meningkatkan penyediaan kredit dan memperluas akses usaha mikro untuk
memperoleh kredit.
Usaha
mikro sangat menghargai akses tersebut daripada kredit yang murah tapi sulit didapat.
Tingkat bunga yang rendah tidaklah sepenting tingkat kepastian bahwa kredit
tersedia dan dalam jumlah yang cukup, dengan prosedur dan persyaratan yang
ringan, dan dengan waktu tunggu yang tidak terlalu lama. Bentuk kelembagaan,
dalam kasus apapun, bukanlah syarat untuk keberhasilan. Kebijaksanaan, perilaku dan praktek manajemen lebih
merupakan hal-hal pokok yang perlu diimplementasikan. Beberapa Koperasi Simpan
Pinjam (KSP) mungkin saja sangat baik sebagai LIK karena baiknya mekanisme
penagihan dan penekanan biaya transaksi yang mereka terapkan, namun, tidak
semua KSP baik. Koperasi yang baik adalah koperasi yang tidak bergantung kepada
dana kredit program dari pemerintah, tetapi berusaha untuk mendapatkan dana
dengan tingkat bunga pasar dan menggunakannya sesuai dengan keuntungan
komparatip yang mereka punyai. Mereka harus mengatasi permasalahan yang selalu menghambat
gerak mereka sebagai lembaga ekonomi yang tidak meninggalkan semangat sosial
dari koperasi. Jika mereka tidak dapat mengatasi "conflict of
interest", yang dalam hal ini, dengan lebih mengutamakan kesehatan
keuangan, maka mereka tidak akan dapat sukses sebagai LIK.
Pemerintah dan Bank Indonesia memainkan peranan yang
sangat besar dalam pengaturan kredit untuk koperasi dan usaha mikro di
Indonesia. BI pada masa lalu lebih merupakan bank pembangunan yang
mengkontribusikan dananya pada pasar kredit dan mengarahkannya melalui
keputusan yang mereka tetapkan, bukan sebagai "lender of last resort"
sebagaimana di negara lainnya. Namun demikian, murahnya dana yang diberikan
menjadikan koperasi tidak terdorong untuk memobilisasikan dana tabungan dan
membangun sumberdaya keuangannya melalui kegiatan-kegiatan yang menguntungkan.
Bantuan dari pemerintah dianggap dapat menggantikan sumberdaya lokal. Akibatnya
koperasi menjadi terbiasa bersikap demikian dan pada saat yang sama hal
tersebut akan merangsang pula para peminjam yang sebenamya tidak mempunyai
peluang investasi yang layak, kecuali untuk konsumsi yang tidak perlu. Ketika saatnya
tiba untuk "phasing out", koperasi dan para peminjam ini belum siap
untuk membayar bunga "riil", dan rencana untuk memobilisasikan dana
tabunganpun belum ada. Untuk merangsang koperasi memobilisasikan dana, pemerintah
hendaklah secara bertahap meningkatkan bunga pinjaman likuiditasnya, atau
mengurangi "share"nya dengan mendorong koperasi untuk jangka waktu
tertentu meningkatkan dananya sendiri. Ini akan mendorong koperasi untuk lebih
dapat bersaing terhadap lembaga ekonomi lainnya. Kompetisi dalam
memobilisasikan dana tersebut akan memperbaiki efisiensi antar LIK dan akan
menurunkan biaya intermediasi.
Pada saat ini terdapat beraneka jenis jasa keuangan yang ditawarkan baik oleh lembaga keuangan formal maupun informal, tetapi pada prakteknya instrumen tersebut tidaklah terlalu jauh berbeda dan hanya berjangka pendek. Pemerintah hendaknya mendorong dan meningkatkan jenis pelayanan jasa keuangan yang terdapat di masyarakat, khususnya yang jangka waktu jatuh temponya lebih lama. Asset dengan jatuh tempo yang lebih lama seperti penyertaan modal pemerintah, asuransi jiwa dan kerugian, dan lainnya, hendaknya tersedia bagi penabung dan investor dengan lebih banyak pilihan sehingga dapat meningkatkan komponen asset keuangan dari tabungan mereka. Tabungan lokal harus diarahkan untuk kepentingan khusus lokal dan tabungan pedesaan seharusnya dicegah agar tidak terkuras keluar dan mengalir ke perkotaan.
Koperasi saat ini dapat dikatakan telah menunjukkan
beberapa hasil yang menggembirakan pada tingkat lokal, namun tidak terintegrasi
dengan baik dengan koperasi lainnya. Adalah sangat penting bagi koperasi untuk
membangun dan mengembangkan suatu jaringan keuangan sendiri. Sebagai LIK, suatu
koperasi hendaknya saling mempunyai akses dengan koperasi lainnya sehingga
dapat menyalurkan dana surplus dari suatu koperasi kepada koperasi lainnya yang
kekurangan dan kekayaan yang mengganggur pada suatu bagian dari jaringan
tersebut dapat dimanfaatkan secara efisien. Oleh karena itu suatu koperasi
hendaknya tidak terpilah-pilah dari jaringan kerjasama antar sesamanya.
Integrasi intermediasi keuangan oleh koperasi kedalam
jaringan yang lebih besar, pada saat yang sama, akan membawa manfaat maupun
kerugian. Keuntungan potensial yang dapat diperoleh antara lain adalah
kemungkinan untuk meningkatkan basis modal, memanfaatkan skala ekonomi, dan menurunkan
biaya transaksi. Juga dengan adanya jaringan kerjasama akan melahirkan
kepercayaan atas status mereka sebagai lembaga yang "langgeng",
terutama dengan kemungkinan adanya supervisi kelembagaan. Jaringan kerjasama
tersebut juga membuka kemungkinan untuk membangun jaringan pelayanan keuangan
yang lebih luas dan terintegrasi. Risiko dan bahaya yang mungkin timbul juga sangat
penting untuk diwaspadai. Akses terhadap dana murah yang mungkin didapatkan
dari jaringan akan menurunkan "greget" koperasi untuk memobilisasikan
dana tabungan lokal.
Dari argumen-argumen diatas kiranya upaya untuk membangun
suatu sistem keuangan koperasi yang mandiri menjadi sangat urgen. Bagaimana
sistem tersebut dibangun, bagaimana peraturan/perundangan yang dibutuhkan harus
dibuat, maupun bagaimana aspek intemal sistem tersebut harus ditata, kiranya
masih merupakan pekerjaan yang sangat besar untuk dibahas hanya pada kesempatan
ini. Namun kiranya tidaklah berlebihan jika kita mengkaji pengalaman negara
lain dalam membangun sistem keuangan untuk gerakan koperasi. Untuk itu kami
mencoba untuk memaparkan model pembangunan sistem keuangan tersebut di
negara-negara Philippina, Portugal dan Amerika Serikat sebagaimana berikut ini.
Pengalaman Philippina. Portugal
dan Amerika Serikat.
Sebagai komparasi untuk membahas pembangunan sistem
keuangan koperasi di Indonesia, berikut akan diulas peranan LIK dalam
pembangunan terutama di pedesaan di Philippina, Portugal, dan Amerika Serikat
(AS). Ulasan ini sangat penting untuk dapat menunjukkan peran yang dapat diemban
oleh koperasi dalam pembangunan di Indonesia dengan meneladani pengalaman
negara lain dalam menyusun dan menerapkan kebijaksanaan sistem keuangan koperasinya.
Tentu saja, sebagai komparasi, tidak semua hal yang baik pada mereka akan baik
pula untuk kita terapkan.
Sebagaimana di negara berkembang lainnya, pemerintah
Philippina dan Portugal juga melaksanakan upaya-upaya untuk membangun
pedesaannya. Di kedua negara ini pemerintah merupakan satu-satunya lembaga
politik yang mempunyai kekuasaan, aparatur dan sumberdaya untuk melaksanakan
keinginan tersebut. Namun demikian, masing-masing
menerapkan kebijaksanaannya dengan strategi yang berbeda. Keduanya sama-;sama
membangun lembaga-lembaga keuangan untuk memenuhi permintaan para
nasabah/petani kecil akan jasa keuangan di pedesaan.
Di
Philippina sejumlah besar bank unit desa telah dibangun dalam dua dekade
terakhir. Bank bank ini diberi kewenangan khusus untuk beroperasi di tingkat
pedesaan sebagai satu kesatuan unit bank. Pada awal tahun 1980an ada kira-kira
1.167 bank desa beroperasi dengan kewenangan khusus tersebut.10)
Di lain pihak, Portugal membangun Koperasi Kredit Kerjasama Pertanian
(selanjutnya akan disingkat dengan CCAM sesuai dengan singkatan bahasa Portugis
Caixas de Credito Agricola Mutno), semacam koperasi simpan pinjam, untuk
beroperasi pada "setting" yang mirip, yaitu suatu distrik pedesaan
atau pedukuhan (conselhos).11)
Kesemuanya merupakan kebijaksanaan kelembagaan yang jelas untuk memenuhi
kebutuhan akan jasa keuangan. Satu merupakan bank swasta kecil dengan penyertaan
saham pribadi, sedangkan di lain pihak merupakan sebuah koperasi yang dibentuk
oleh anggota yang umumnya petani. Namun demikian, keduanya menghadapi
permasalahan dan tantangan yang tidak terlalu berbeda.
Philippina.
Untuk memacu pembangunan, Philippina juga mengikuti jejak negara-negara berkembang
lainnya. Di Philippina pembangunan sektor pedesaan merupakan prioritas utama. Peningkatan produktivitas pertanian, khususnya beras,
dianggap sangat essensial bagi pembangunan ekonomi. Dihadapkan dengan
pertumbuhan penduduk yang sangat pesat dan peningkatan impor beras, pada tahun
1961 pemerintah mulai bekerja serius untuk mencapai swasembada dalam produksi beras
melalui kebijaksanaan revolusi hijau. Pada tahun 1966 pemerintahan Marcos
memperkenalkan program empat-tahunan swasembada beras.12) Pada tahun 1973 pemerintah memperkenalkan lagi program
bam yang diberi nama Masagana-99 (M-99). Kredit murah dikombinasikan dengan
subsidi pupuk dan pelayanan penyuluhan untuk mencapai swasembada beras dan
mengembangkan surplus untuk ekspor.
Menggunakan sekitar 6.000 teknisi, jutaan peso, sejumlah
besar subsidi pupuk, kebijaksanaan harga dan irigasi, M-99 merupakan program
peningkatan produksi pangan yang paling ambisius yang pemah diterapkan di
Philippina.13)
Target pangan memang tercapai; untuk peri ode 1973-1979 tambahan produksi padi
adalah 5,3 juta metrik ton, ekuivalen dengan 3,2 juta metrik ton beras, Namun
demikian biaya dari program tersebut sangatlah menakjubkan. Untuk musim tanam
periode 1973 -1980 perkiraan biaya yang telah dikeluarkan pemerintah adalah
sekitar P 2,1 milyar.14)
Pemerintah menggunakan pola kredit supervisi untuk
mempromosikan program M-99 dan kredit supervisi lainnya yang menjamur kemudian.
Dengan pola ini, kredit tanpa agunan dengan bunga rendah disalurkan melalui
Bank Nasional Philippina (Philippine National Bank) kepada bank-bank desa,
selanjutnya bank desa meminjamkannya kepada petani atau koperasi, Dana yang
dipinjamkan tersebut didapat dari tabungan deposito khusus dan melalui dana
likuiditas bank sentral,
Sumber-sumber
dana ini menimbulkan dampak "spillover" serius dan negatip terhadap
pasar keuangan pedesaan. Akses yang sangat mudah untuk mendapatkan uang murah
melahirkan intermediasi keuangan yang menyenangkan dalam ekonomi pedesaan,
namun nobilisasi tabungan menjadi terabaikan.15) Tidak ada
dorongan sama sekali untuk memobilisasikan tabungan karena uang yang didapatkan
merupakan uang yang sangat murah. Bank desa nyatanya hanya merupakan saluran dari
pemerintah untuk mentransfer kredit murah, dan hanya memberikan kesempatan yang
sangat terbatas untuk menunjukkan fungsi riil dari perbankan, seperti
diversifikasi portofolio, menyebarkan fisiko, dan intermediasi keuangan,
Kredit
murah dan pentargetan pinjaman menyebabkan kelebihan permintaan terhadap kredit
institusional. Hasilnya adalah penjatahan kredit karena bank menjadi lebih
selektip dalam memberikan kredit. Dengan demikian hanya petani-petani besar
saja, yang "bankable" dan mempunyai jaminan dan asset lainnya, yang
dapat mengambil manfaat dari kredit kelembagaan yang murah tersebut, Dampak "crowding
out" ini melemparkan para petani kecil ke genggaman pasar kredit informal,
satu-satunya sumber kredit yang tersedia untuk mereka.16)
Subsidi, sebagai bagian dari kredit, sebagian besar dimanfaatkan oleh para
tengkulak, bukan kelompok sasaran: peminjam yang merupakan petani kecil,
Bukti
lain menunjukkan bahwa manfaatnya banyak dinikmati oleh para pemasok, pedagang
beras dan konsumen, dengan selain para petani sasaran.17)
Dengan demikian dampak terhadap pemilikan sumberdaya dari kredit bersubsidi ini
tidaklah seperti yang diharapkan. Para petani kecil yang sebenamya mampu
menyerap sekitar 73% dari seluruh kredit hanya menikmati sebanyak 32% dari jumlah
kredit yang disalurkan. Pada kenyataannya telah teIjadi transfer pendapatan
riil dari para petani berpendapatan kecil kepada para petani berpendapatan
tinggi.18)
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, dewasa ini berbagai ragam lembaga mandiri,
terutama koperasi, telah dibentuk untuk kepentingan berbagai kelompok khusus.
Pengembangan hubungan kerjasama antara lembaga perbankan dengan organisasi
petani akan memperbaiki akses petani kecil dan golongan ekonomi lemah lainnya
terhadap jasa-jasa keuangan.
Sistem koperasi kelihatannya merupakan sistem yang
dinilai sangat rendah diantara berbagai sistem organisasi keuangan yang ada di
negeri ini. Kegagalan dari kebanyakan koperasi yang memberikan gambaran buruk
kepada gerakan koperasi secara keseluruhan memberikan sumbangan yang sangat
besar terhadap sikap nasional tersebut. Pada kenyataannya sistem kredit
koperasi masih dianggap sebagai sebuah segmen dari pasar kredit informal di
Philippina. Sikap terhadap koperasi ini secara pasti akan berubah di masa
datang. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan betapa pentingnya peranan koperasi
dalam sistem keuangan secara keseluruhan.19)
Portugal. CCAM di Portugal mempunyai sejarah yang lebih panjang
daripada bank desa di Philippina. Namun demikian, kerangka kelembagaan dan
penyediaan kredit pertanian di Portugal mengalami perubahan yang dramatis pada
tahun 1980an. Pada dekade sebelumnya kredit program disalurkan melalui
Departemen Pertanian atau melalui bank komersial yang sekarang ini dinasionalisasikan.
Namun pada tahun 1980 skenario ini berubah ke dalam bentuk desentralisasi ke dalam
jaringan ekstensip CCAM.20)
Aktivitas kredit di pasar keuangan Portugal masa pertama
tahun 1980an telah terjadi penurunan yang tajam baik kredit pertanian maupun
kredit bukan pertanian pada periode 1980-1985, namun penurunan nilai riil dari
kredit baru untuk pertanian lebih tajam daripada kredit bukan pertanian. Namun
peranan relatip dari koperasi kredit pertanian berskala kecil terhadap
penyediaan total kredit cukup berkesan, meningkat dari sekitar seperlima
menjadi dua pertiga.
Pada periode 1984-1985 hingga saat ini, CCAM maju lagi ke
fase berikutnya dari evolusi mereka, dimana mobilisasi tabungan lokal menjadi
lebih terlihat lagi sebagai sumber dana utama dan Dana Likuiditas Pusat (Caixa
Central) didirikan untuk bertindak sebagai "clearinghouse" dari
jaringan nasional CCAM. Pada saat yang sama negara menerapkan kebijakan liberalisasi
pasar keuangan. Hasilnya menjelang pertengahan 1980an pasar keuangan pedesaan
telah dilayani oleh lembaga perantara keuangan yang lebih sehat dan lebih
kompetitip daripada yang ditunjukkannya pada akhir1970an.21)
Selain kebijaksanaan liberalisasi ekonomi Portugal pada
era 1980an, pengendalian harga komoditi pertanian juga membatasi nilai tukar
produk pertanian untuk masa itu. Pada masa yang sama turunnya permintaan pasar
yang diakibatkan resesi awal 1980an turut meningkatkan risiko investasi
pertanian.22) Akibatnya,
jaringan bank komersial mulai menjatahi nasabah kecil dan riskan tersebut dari
portofolio mereka. Koperasi kredit pertanian, di lain pihak, dilarang untuk
turut bertindak serupa. Berdasarkan perundangan mereka hanya boleh memberikan
pinjaman kepada sektor pertanian karena mereka memang dibatasi untuk memberikan
pinjaman hanya kepada anggota.23)
Akibatnya, CCAM secara kurang pas mewarisi pangsa yang lebih besar dari
portofolio pertanian dalam ekonomi Portugal.
CCAM
berhubungan erat dengan tiga lembaga keuangan di Portugal. Bank Sentral bertanggung jawab untuk melaksanakan
pemeriksaan dan mengaudit rekening mereka. CCAM dibebaskan dari persyaratan
cadangan minimum (reserve requirement). Deposito CCAM juga dibebaskan dari pembayaran
pajak pendapatan, sehingga jika dikombinasikan dengan pembebasan kewajiban
cadangan minimum maka akan memberikan keunggulan kompetitip atas bank-bank
komersial, terutama dalam hal menawarkan tingkat bunga deposito yang tinggi. Namun
demikian sebenamya keunggulan kompetitip ini tidaklah terlalu banyak artinya
karena CCAM diharuskan pula untuk memberikan kontribusinya sebagai cadangan
pada dana umum (general fund) Caixa Central yang besamya sama dengan
persyaratan cadangan minimum yang harus disediakan oleh bank komersial.
Sejak
dibentuknya Caixa Central pada tahun 1984, sebanyak 190 CCAM telah menjadi anggotanya.
Sebagian besar memang masih didorong oleh pemerintah karena CCAM dilarang mendepositokan
kelebihan cadangannya pada bank-bank komersial. Dengan tidak adanya outlet yang
boleh menjadi "clearing house" untuk mereka maka CCAM tidak mempunyai
pilihan lain kecuali bergabung dengan Caixa Central.
Lembaga
ketiga yang berkaitan dengan CCAM adalah FENACAM. Ini adalah federasi tingkat nasional
dari CCAM yang bertindak sebagai organisasi pelobby (lobbying organization)
bagi anggotanya secara nasional. Fenacam juga menawarkan bantuan teknis
profesional dan pelayanan audit untuk anggotanya. Selain itu FENACAM membangun
sistem informasi terpadu pada jaringan kerja antar CCAM dan memberikan
pelayanan lainnya seperti "checkbook", kalender, dan lain sebagainya.
Koperasi anggota menyumbangkan 2% SHUnya untuk mendukung FENACAM. Yang lebih
menarik lagi, FENACAM juga adalah pemegang saham pada Caixa Central
bersama-sama dengan anggota CCAM lainnya.
Pertumbuhan
yang cepat dari koperasi kredit di Portugal tersebut mengilustrasikan
beberapa pelajaran penting tentang pembentukan dan ekspansi lembaga keuangan
pada pasar uang pedesaan bagi negara-negara berkembang lainnya. Pertama, adalah
nyata bahwa dengan insentip yang tepat koperasi kredit dapat dengan sukses
memobilisasikan dana tabungan. Sampai pertengahan tahun 1980an dengan
memobilisasikan dana lokal, CCAM telah berhasil meningkatkan posisi otonomi
keuangannya dan telah berhasil menjadi penyuplai terbesar untuk kredit mikro pertanian
di negerinya. Pelajaran kedua yang dapat ditarik dari pengalaman CCAM ini
adalah; temyata penabung dapat ditempatkan pada posisi yang sangat riskan dalam
jaringan kerja koperasi kredit yang tingkat otonominya masih relatip sangat
rendah dan pada lingkungan peraturan yang masih lemah.
Amerika Serikat.24)
Petani dan petemak di AS mendapatkan lebih daripada sepertiga kebutuhan finansialnya
dari Sistem Kredit Usaha Tani (Farm Credit System = FCS), sebuah lembaga
keuangan berbentuk koperasi yang dibentuk, dimiliki dan dikontrol oleh para
nasabahnya sendiri, yaitu petani dan petemak tadi. Koperasi Pemasaran, Koperasi penyedia sarana usaha tani, dan
koperasi jasa mendapatkan sekitar 65% dari dana ekstemal yang mereka butuhkan
dipinjam dari FCS. Nasabah lainnya termasuk nelayan, penduduk desa yang bukan
petani, dan pengusaha yang melayani kebutuhan usaha tani. Menjelang
pertengahan tahun 1970an nasabah FCS ini setiap tahunnya meminjam sekitarUS$30
milyar darinya.
FCS
diorganisasikan berdasarkan distrik. Setiap 12 buah distrik mempunyai sebuah
Federal Land Bank (FLB), sebuah Federal Intermediate Credit Bank (FICB), dan
sebuah Bank for Cooperatives (BC) yang beroperasi dibawah satu payung pengurus
(Board of Director) pembuat kebijaksanaan, yang lebih dikenal sebagai Dewan
Direktur FCS (BDFCS) untuk daerah tersebut. Selanjutnya, sebuah BC Pusat, yang
dimiliki oleh BC Distrik, berlokasi di Denver,
Colorado.
Dewan Direktumya terdiri dari 12 orang wakil dari (BDFCS), ditambah seorang
direktur yang diangkat oleh Gubemur FCA (Farm Credit Administration) dengan
persetujuan dari (BDFCS) federal.
FLB membuat pinjaman hipotek jangka panjang melalui lebih
dari 500 koperasi FLB lokal. Koperasi yang dimiliki para petani ini selanjutnya
memiliki FLB. Bank ini juga memberikan pinjaman kepada penduduk desa lainnya
yang bukan petani.
FICB menyediakan dana pinjaman untuk lebih dari 400
koperasi kredit produksi lokal. Petani, petemak, dan nelayan meminjam dari
koperasi ini untuk keperluan operasional musiman dan untuk membiayai investasi
atau pembiayaan jangka panjang sampai 7 tahun. Bank ini menyediakan dana untuk
pinjaman usaha tani kepada sekitar 100 LIK lainnya, termasuk perusahaan kredit
pertanian dan bank komersial.
BC menyediakan pembiayaan untuk fasilitas dan pinjaman
operasional kepada lebih dari 3000 koperasi pemasaran, koperasi penyedia sarana
pertanian, dan koperasi jasa lainnya yang memiliki BC. BC-sentral bekerjasama
dengan mereka untuk memberikan pinjaman kepada koperasi yang lebih besar
sebagai salah satu cara untuk menyebarkan risiko. Bank
ini melayani bank-bank lainnya di dalam sistem dengan mengoperasikan
"money desk" yang mentransfer dana dari satu bank ke bank lainnya
Para
petani, petemak dan nelayan yang menjadi anggota koperasi memilih pengurus
(dewan direktur) koperasi mereka; koperasi FLB, koperasi kredit produksi,
ataupun koperasi BC lokal. Tiga kelompok kepengurusan ini mewakili anggota
untuk memilih dua orang dari masing-masing kepengurusan pada BDFCS. Anggota pengurus yang ketujuh diangkat oleh Gubemur FCA.
Dewan lokal dan distrik menentukan kebijaksanaan dan mengangkat manajemen
puncak untuk organisasi mereka.
FCS dibimbing dan dibina oleh FCA, sebuah badan
pemerintah yang independen yang perongkosannya
dibiayai oleh bank dan koperasi anggota FCS. Kebijaksanaan FCA dibuat oleh 13 anggota
pengurus FCS federal. Pengurus ini juga mengangkat Gubemur FCA, yang merupakan kepala
administrasinya. Anggota pengurus diangkat oleh Presiden, dengan persetujuan
Senat, setelah dia mempertimbangkan tiga orang calon yang diusulkan oleh
pengurus koperasi FLB, koperasi kredit produksi, dan koperasi yang turut
memiliki dan menggunakan BC di setiap distrik.
Anggota pengurus FCS federal yang ketiga belas diangkat
oleh Menteri Pertanian sebagai wakilnya di kepengurusan. Semua pengurus yang pernah
diangkat oleh Presiden sejak kepengurusan terbentuk pada tahun 1953 adalah
calon yang diusulkan oleh pengurus koperasi yang dipilih oleh anggota. Oleh
karena itu petani anggota, melalui pengurus koperasi lokal, terwakili dalam
pembuatan kebijaksanaan FCS secara nasional. FCS, melalui kerjasama dengan
agen-agen sekuritas dan perbankan, mendapatkan sebagian besar dana pinjamannya
dengan cara menjual sekuritas melalui agen sekuritas patungan di pasar uang New
York.
Sejumlah
37 buah bank FCS pada pertengahan tahun 1970an mendirikan Farmbank Services di Denver,
Colorado.
Organisasi ini mengoperasikan Farmbank Information and Research Service dan juga
memberikan pelayanan pada bidang-bidang seperti latihan manajemen dan hubungan
masayarakat bila bank-bank tersebut melihat bahwa tahapan tertentu dari program
tersebut akan lebih efektip dan efisien bila dilaksanakan secara terpadu di
sana daripada bila dilaksanakan dengan basis lokal atau distrik.
Beberapa Hal Pokok dalam
Membangun Sistem Keuangan Koperasi
Dalam situasi ekonomi global yang semakin ringkih saat
ini, tantangan utama bagi ekonomi kita saat ini adalah penyesuaian keadaan
dengan semakin sedikitnya penerimaan dari minyak dan perbaikan stabilitas
keuangan dalam jangka pendek, serta memacu pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang. Di sektor pertanian, issu pokok yang dihadapi pemerintah tetap saja
swa-sembada pangan dan bagaimana mempertahankan laju pertumbuhan dan kesempatan
kerja, memperbaiki tingkat pendapatan petani, dan memperluas ekspor. Sektor
keuangan pedesaan telah memainkan peranan yang sangat penting dalam penyediaan
kredit untuk pertanian khususnya, ekonomi pedesaan umumnya, dan masih harus lebih
dikembangkan lagi guna menghadapi perubahan kebutuhan dan keterbatasan sektor
diluar pertanian.
Kredit mikro di sektor pertanian di Indonesia termasuk
kedalam kebijakan fiskal. Ini berarti bahwa sistem keuangan kita belum lagi
terlihat sebagai mekanisme untuk mengintegrasikan pasar modal dan
memobilisasikan sumberdaya dari unit ekonomi surplus kepada unit ekonomi yang
defisit, tetapi lebih terlihat sebagai strategi untuk mentransfer penerimaan
pemerintah, melalui kredit bersubsidi, kepada sektor-sektor tertentu dalam
kegiatan ekonomi.
Menilik kondisi saat ini, terutama di era reformasi
dimana perubahan kebijakan pemerintah tidak lagi merupakan hal yang tabu,
kiranya inilah saatnya bagi gerakan koperasi untuk memulai langkah yang lebih
besar lagi untuk membangun suatu sistem keuangan koperasi yang mandiri,
sehingga ketergantungan koperasi terhadap pemerintah dapat dikurangi, atau
bahkan dihilangkan.
Beberapa hal yang harus dikembangkan dalam membangun
sistem keuangan koperasi antara lain:
1). Tujuan yang ingin dicapai dari kegiatan usaha perkreditan oleh koperasi
adalah:
a. Memampukan koperasi agar
dapat menjadi pusat pelayanan kredit kepada anggota dan masyarakat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan anggota/masyarakat.
b. Menunjang kelancaran
pertumbuhan perekonomian antara lain dengan mengatasi dan menghilangkan faktor
penghambat pertumbuhan perekonomian seperti ijon dan rentenir.
c. Meningkatkan partisipasi anggota/masyarakat dalam
kegiatan koperasi.
d. Diharapkan dengan adanya
sistem intermediasi, yang dilaksanakan sebagai bagian kegiatan usaha koperasi,
dapat merupakan mekanisme kerja dan embrio lahirnya "lembaga keuangan"
yang dimiliki, diatur dan untuk kepentingan masyarakat dan koperasi itu
sendiri.
2). Sasaran dari sistem perkreditan melalui koperasi ini dapat disebutkan
sebagai berikut:
a. Memenuhi kebutuhan kredit
bagi usaha masyarakat di bidang perdagangan, kerajinan, industri kecil, usaha
pertanian dan lain-lain.
b. Meningkatkan penghasilan dan pemerataan pendapatan
masyarakat pedesaan.
c. Mewujudkan kesatuan gerak
operasional dalam rangka akumulasi dan mobilisasi dana secara horizontal dan
vertikal dilingkungan koperasi sehingga peranan koperasi secara keseluruhan merupakan
satu potensi nyata dalam pembangunan perekonomian nasional.
d. Melalui sistem perkreditan
yang ditangani oleh koperasi diharapkan masyarakat dapat menerima fasilitas
kredit dengan prosedur yang mudah dan cepat, dengan persyaratan ringan dan
pengawasan untuk efektivitas dan efisiensi usahanya.
e. Meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penggunaan dana yang dihimpun dari penyisihan sebagian sisa hasil
usaha yang diperoleh dari program pengadaan maupun penyaluran dengan tujuan
untuk swadaya koperasi dalam sektor permodalan.
f. Semua anggota masyarakat
yang telah memperoleh fasilitas pelayanan kredit dari koperasi diarahkan untuk
menjadi anggota koperasi yang aktip berpartisipasi.
3). Sistem perkreditan yang dimaksud mempunyai ciri antara lain sebagai
berikut:
a. Adanya kemudahan dalam hal
mendapatkan kredit dalam bentuk persyaratan yang ringan, prosedumya sederhana dan
pelayanan yang cepat.
b. Kredit murah dalam arti suku
bunga yang ringan dan terjangkau serta biaya memperoleh kreditnya kecil.
c.
Tersedia dana sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan dan tepat waktunya.
d. Untuk efisiensi dan efektivitas pelayanan serta
mempermudah pengawasan, maka pelayanan kredit kepada anggota/masyarakat dilaksanakan
melalui kelompok penerima kredit yang beranggotakan antara 5-10 orang.
e. Pelayanan kredit kepada koperasi/anggota diarahkan
kepada kredit serba usaha.
f. Koperasi diberi wewenang
penuh dalam rangka penanganan kredit yang disesuaikan dengan tata nilai sosial
budaya masyarakat setempat, serta diberi kebebasan untuk memilih.
g. Pelaksanaan berpegang pada azas dan prinsip-prinsip
dasar koperasi.
h. Pemberian kredit dilakukan
selektip berdasarkan atas pertimbangan kelayakan usaha, bonafiditas dan
prioritas program pembangunan.
REFERENCES
1). See Bela Belassa, Policy Reform in Developing
Countries (New York: Pergamon Press, 1977), and Edward S.Shaw, Financial
Deepening (New York: Oxford University Press, 1973).
2). Dale W.Adam and R.L.Meyer, "Attempting Too
Much and Achieving Too Little through Rural Financial Markets," Paper
No.1368, AFP-The Ohio
State University,
June 1987.
3). See Dale W.Adams and D.Graham, "A Critique
of Traditional Agriculture Credit Projeds and Policies," Joumal of
Development Economics, 8 (1981), pp347-366; Dale W.Adams and R.C.Vogel, "Rural
Financial Markets in Low-Income Countries: Recent Controversies and
Lessons", World Developing, 14:4 (1986), pp. 477-487.
4). Claudio Gonzales-Vega. "The Ohio State
University's Approach to
Rural Financial Markets", a Concept Paper, the Ohio State University, 1986.
5). P .Egger , "Banking for the Rural Poor:
Lessons from Some Innovative Savings and CreditSchemes", Intemational
Labor Review, 125:4, pp. 447-487.
6). A.Bottrall and J.Howell (1980), "Small
Farmer Credit Delivery and Institutional Choice", in J.Howell (ed.)
Borrowers and Lenders (London: Overseas Development Institute, 1980).
7).
The World Bank, World Development Report 1989 (Oxford: Oxford University Press,
1989).
8). Claudio Gonzales-Vega. "Indonesia;
Financial Services for the Rural Poor", Report, (Jakarta: USAID, 1982).
9).
Dale W.Adams and R.L.Meyer, Op Cit
10).Claudio Gonzales-Vega, "Interest Rate
Restridions and Income Distribution", American Joumal of Agricultural
Economics, 59:5 (December 1977), pp 973-976; Claudio Gonzales-Vega,
"Interest Rate Restridions and the Socially Optimum Allocation of
Credit", Saving and Development, 4: I (January, 1980), pp 5-28.
11).Cesar G. Saldana and Roy C. Ybanez,
"Management Policies and Operating Performance of Rural Banking
Institutions", Paper on ACPC-PIDC-OSU Seminar, Central Bank of the
Philippines, Manila, (September 26-27, 1988).
12).Ezequiel de Almeida Pinho, and Douglas.H.
Graham, "Agricultural Credit Cooperatives and Restruduring of the Supply
of Supply of Agricultural Credit in Portugal: Healthy Innovation or Institutional
Collapse?", Paper on the XX Intemational Conference of Agriculture
Economics, Buenos Aires,
(August 26-Sept. 2, 1988).
13.Nasikun, "Revolusi Hijau dan Masalah
Pengangguran di Negara-Negara Berkembang", ("Green Revolution and the
Problem of Unemployment in the Developing Countries"), Prisma 9: 10 (October,
1980), p.72,
14).0rlando Sacay, M. Agabin, and C.Tanchoco,
"Small Farmers Credit Dilemma", (Manila: Technical Board for
Agricultural Credit, 1985).
15).Technical Board for Agricultural Credit, "A
Study on the Benefits and Costs of the Masagana-99 Program", (Manila:
TBAC, 1981).
16).Gilberto Llanto and P.Neri, "Agricultural
Credit Subsidy", Central Bank Review, (October, 1985).
17).Y.Bruce Tolentino, "Current Imperatives and
Developments in Philipine Agricultural Credit Policy", Occassiional Paper
No.1324, the Ohio
State University,
March 1987.
18).Orlando Sacay, et al., Op. Cit.
19).Gilberto
Llanto and P .Neri, Op. Cit.
20)Mario B.Lamberte and J.Z.Balboosa, "Informal
Savings and Credit Institutions in the Urban Areas: the Case of Cooperative
Credit Unions", PillS Working Paper No.88-06 (April 1988).
21).Mario B.Lamberte, "The Role and Performance
of Cooperative Credit Unions in the Rural Financial Markets: Some Preliminary
Results", Paper on ACPC-PIDS-OSU Seminar, Central Bank of the Philippines, Manila (September 26-27,
1988).
22).Gilberto
Llanto and P.Neri, Op. Cit.
23).Douglas
H. Graham, Op. Cit.
24). Disarikan dari brosur FCS yang dipublukasikan
the Farm Credit Administration (FCA), Washington,
DC, 2004.
Untuk Download file utuh, Klik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar