Bahan ini akan dipresentasikan pada :
Temu Nasional Strategi dan Kebijakan Pendirian Perusahaan Asuransi Berbadan
Hukum Koperasi
Jakarta, 27-29 Agustus 2013
KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA INTERMEDIASI KEUANGAN UNTUK
PEMBIAYAAN USAHA MIKRO DI SEKTOR PERTANIAN
Oleh:
ACHMAD
H. GOPAR
Pendahuluan
Meskipun
tidak banyak dimengerti, peran dasar koperasi dalam sistem keuangan, terutama
dalam hal penyediaan permodalan, adalah menjadi perantara yang menghubungkan
pihak yang berlebih dan pihak yang kekurangan, atau, seperti di banyak negara
berkembang, adalah menjadi penyalur kredit pemerintah untuk pembangunan. Dalam
cakrawala pandangan ini, koperasi tidaklah berbeda dengan lembaga intermediasi
keuangan (LIK) lainnya. Perbedaan utamanya adalah; jika pada LIK lainnya peminjam
dan pemberi pinjaman adalah jatidiri yang berbeda, maka pada koperasi peminjam
dan pemberi pinjaman adalah pemilik LIK.1)
Sebuah
badan usaha atau sebuah rumahtangga bisa saja memiliki sumberdaya melebihi
peluang investasi yang menguntungkannya atau peluang konsumsinya. LIK
memungkinkan pihak yang surplus untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang lebih
tinggi bagi dananya yang menganggur ataupun konsumsinya yang ditunda sehingga
kelebihan sumberdaya tersebut menghasilkan kepuasan yang lebih tinggi. Sebagaimana
Gonzales-Vega nyatakan, dengan absennya mekanisme keuangan, maka setiap produsen
harus mengongkosi sendiri kegiatannya; dengan kata lain, setiap produsen hanya
dapat menarik keuntungan dari peluang produksinya sampai pada tingkat yang
dimungkinkan oleh sumberdaya yang dimilikinya.2)
Jika
keragaan LIK sangat buruk, maka kontrak ataupun pertukaran secara barter antara
pihak yang surplus sumberdaya dan pihak yang minus sumberdaya menjadi sulit
diwujudkan, jikapun teIjadi akan membutuhkan biaya yang tinggi. Untuk
menurunkan biaya transaksi pertukaran tersebut, koperasi sebagai LIK dapat memberikan
fasilitas untuk terjadinya perpindahan barang dan jasa diantara pihak-pihak
tersebut. Ini dimungkinkan dengan cara memobilisasikan dana dari pihak yang
surplus (tabungan) dan menyalurkannya (pinjaman) kepada pihak yang yang sumberdayanya
terbatas. Bila dana ini digunakan untuk bahan baku dan faktor produksi, maka realokasi
sumberdaya akan terjadi dari pihak yang surplus kepada produsen yang minus,
yang selanjutnya akan meningkatkan produktivitas sumberdaya secara keseluruhan.
Peranan
LIK tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut; misalkan ada dua pihak “A”
dan “B” ingin mengadakan pertukaran melalui barter atau melalui perantara
informal. Misalkan pula bahwa A mempunyai peluang produksi yang sangat bagus, namun
tidak mempunyai sumberdaya sendiri yang cukup untuk kegiatan tersebut,
sedangkan B mempunyai kelebihan sumberdaya namun tidak mempunyai peluang
produksi yang bagus sehingga terpaksa menggunakannya untuk keperluan yang kurang
berdayaguna. Jika tidak ada LIK, maka A akan terpaksa menjadi kurang produktip
karena kekurangan sumberdaya, sedangkan B terpaksa mengkonsumsi kelebihan
sumberdaya tersebut dengan tidak efisien atau menginvestasikannya pada
aktivitas yang kurang menguntungkan dimana "return on investment"
(ROI)nya rendah.
Sistem
keuangan di negara berkembang umumnya bercirikan dengan berbagai fragmentasi: terisolasinya
unit-unit ekonomi dan tidak adanya mekanisme yang efisien untuk mentransfer sumberdaya
antar produsen. Selain tidak terintegrasinya sistem keuangan, juga terdapat
hubungan yang kurang menggembirakan antar kelompok yang tingkat pendapatannya
berbeda. Di dalam lingkungan sistem keuangan yang terpilah-pilah tersebut akan
muncul ketimpangan tingkat pendapatan marjinal terhadap "asset" yang
sangat besar: beberapa unit menerima pendapatan yang sangat besar sedangkan
yang lainnya menerima pendapatan dengan tingkat yang sangat rendah. Perbedaan
tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan iklim, prasarana transportasi, sumber pendapatan,
keterpaduan usaha, besarnya keluarga, kapasitas manajerial, dan nasib baik. Juga karena sifat sistem produksi, misalnya suatu usaha
tani menjadi biasa bila mengalami kesulitan likuiditas pada suatu ketika dan
mempunyai kelebihan likuiditas pada masa panen. Ketimpangan pendapatan antar unit
ekonomi untuk jangka waktu tertentu tersebut menjadi tipikal dengan
meningkatnya pembangunan. Siklus hidup suatu usaha dan terpilah-pilahnya
pemilikan sumberdaya suatu keluarga meningkatkan kebutuhan intermediasi
keuangan. Membantu merealokasikan sumberdaya tersebutlah yang merupakan hal
terpenting bagi suatu LIK untuk dapat disumbangkan dalam pembangunan.3)
Lebih lanjut, LIK tidak saja mengurangi biaya dan risiko
untuk menabung dan meningkatkan penerimaan rata-rata investasi, juga merangsang
menabung, meningkatkan akumulasi modal dan, tentu saja, laju pendapatan.
Sebagai tambahan, sistem intermediasi keuangan yang efisien juga akan meningkatkan
distribusi pendapatan. Perbedaan tingkat pendapatan antar produsen berkaitan
dengan perbedaan kesempatan berproduksi dan kontrol terhadap sumberdaya yang
memungkinkan mereka mengambil keuntungan daripadanya. Selain akses terhadap
kredit memungkinkan kontrol tersebut, sistem intermediasi keuangan dapat
mengeliminasikan salah satu sumber potensial timbulnya kesenjangan laju
pendapatan.4)
Dengan demikian, sistem intermediasi keuangan yang baik akan dapat meningkatkan
laju akumulasi modal, memperbaiki alokasi sumberdaya, dan memperbaiki
distribusi pendapatan.
Kondisi Umum Intermediasi
Keuangan di Negara Negara Berkembang
Intermediasi keuangan di negara-negara berkembang umumnya lebih menekankan
kegiatannya pada sisi pemberian pinjaman/kreditnya saja dibandingkan pada sisi
pemupukan modalnya. Oleh karena itu lazimnya hanya disebut sistem perkreditan
saja. Intermediasi keuangan di beberapa negara berkembang selalu berkaitan
dengan proses pembangunan. Para pakar kredit umumnya sepakat bahwa kredit
memegang peranan yang sangat penting dalam mempercepat laju pertumbuhan,
memperbaiki pengalokasian sumberdaya dan mengurangi ketimpangan distribusi
pendapatan, terutama di pedesaan.5)
Pada periode 1960-70an banyak negara berkembang,
seringkali dengan bantuan yang sangat besar dari negara-negara donor, membangun
sistem perkreditannya dengan mengandalkan pada kebijaksanaan pengendalian
tingkat bunga pinjaman agar tetap dibawah tingkat bunga pasar pada umumnya.
Walaupun peranannya sangat besar namun tidaklah berarti bahwa program kredit
tersebut luput dari berbagai permasaalahan, umumnya program ini memerlukan
jumlah dana yang sangat besar; tingkat pengembalian kredit yang sangat rendah;
sulitnya kaum papa terutama di pedesaan untuk mempunyai akses terhadap kredit
murah; dan masih saja diragukan apakah peningkatan jumlah arus kredit
benar-benar meningkatkan laju pembangunan, terutama di pedesaan. Yang lebih menyedihkan
lagi, banyak dari lembaga intermediasi keuangan yang melaksanakan program
tersebut tidak dapat mandiri.6)
Kredit murah dan kredit yang mempunyai sasaran tertentu saja telah lama mendapat
kecaman dari banyak pengamat, terutama para pakar dari Ohio State University dan
Bank Dunia yang berkeyakinan bahwa kebijaksanaan tersebut melemahkan lembaga
keuangan mikro (LIK).7)
Tingkat bunga kredit mikro yang rendah menyebabkan LIK
juga menawarkan bunga yang rendah kepada penabung potensial, sehingga akan
menurunkan jumlah tabungan dan memaksa LIK bergantung kepada dana murah atau
subsidi dari Bank sentral untuk menjamin likuiditasnya, yang umumnya
dikendalikan oleh penjatahan administratip ataupun politis. Cara pertama akan meningkatkan
biaya transaksi, sedangkan cara terakhir akan menyebabkan timbulnya
"permainan" dalam analisis kelayakan kredit dan/atau "kekeliruan
yang disengaja" oleh peminjam yang basis politisnya kuat, yang pada akhimya
akan menyebabkan kredit macet.
Biaya transaksi yang tinggi merupakan masalah lumrah
untuk sistem perkreditan di negara-negara berkembang. Masalah ini terutama
disebabkan fragmentasi pasar, transaksi yang kecil-kecil, biaya informasi yang
tinggi, dan risiko serta ketidak-pastian yang tinggi. Hal-hal tersebut
mengakibatkan penerimaan bersih bagi penabung menjadi sangat rendah, biaya
total (termasuk pengeluaran bukan bunga) bagi peminjam menjadi sangat tinggi,
ukuran pasar uang tetap saja kecil, dan volume dana yang dimobilisasikan serta
variasi jasa keuangan menjadi tetap terbatas. Lebih lanjut, mengingat biaya transaksi
di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan, jasa-jasa kredit dan perbankan
cenderung lebih terkonsentrasi di perkotaan.
Kebijaksanaan dan regulasi keuangan, termasuk pembatasan
tingkat bunga dan kecurigaan terhadap para pengijon serta rentenir, menyebabkan
lebih parahnya kondisi tersebut di atas, sehingga berakibat lebih terkonsentrasinya
kredit murah kepada beberapa tangan saja. Hanya sebagian kecil saja dari masyarakat
dapat mempunyai akses kepada kredit formal, melalui LIK yang nyatanya sulit dikatakan
layak dan hanya dapat menawarkan jasa pinjaman, bukan fasilitas tabungan. Dana
kredit datangnya dari pemerintah, bank sentral, dan negara/lembaga donor,
sedangkan keterbatasan intermediasi antara penabung lokal dan investor lebih
memarakkan kesenjangan tingkat penerimaan marjinal untuk suatu investasi.8)
Argumen-argumen di atas tidak lagi lebih menitik-beratkan
penilaian terhadap tingkat bunga saja namun juga mempermasalahkan peranan LIK,
khususnya bagaimana seharusnya suatu LIK yang mandiri dapat dirangsang dan
dibangun. Pertanyaan: "Berapa suku bunga?" walaupun masih tetap penting
kini selalu disertai dengan pertanyaan yang setara: "Bagaimana
kelembagaannya?" Menjangkau masyarakat banyak dengan jasa keuangan
tidaklah cukup hanya dengan mempromosikan suatu bentuk kelembagaan khusus saja.
Walaupun banyak laporan tentang bentuk LIK yang mungkin cocok, terutama untuk
pedesaan, namun sedikit sekali yang membahas tentang dimensi organisasi dari LIK
tersebut.9)
Mengapa Membangun "Sistem Intermediasi Keuangan"?
Dari
uraian di atas setidaknya ada tiga tesis tentang perlunya membangun "sistem
intermediasi keuangan", dimana substansinya lebih pada kelembagaan
koperasi, dibandingkan hanya membangun pola atau skim perkreditan, yang
substansinya lebih kepada program perkreditan sebagaimana yang telah berlangsung
selama ini.
Tesis pertama
adalah pada pengertian yang keliru (false understanding) terhadap prinsip
koperasi, dimana intermediasi keuangan pada koperasi para peminjam dan penabung
adalah pemilik lembaga koperasinya. Dalam pengertian ini, koperasi menjadi
organisasi keuangan yang tertutup, yang hanya mengandalkan sumberdaya yang ada
pada dirinya sendiri. Upaya untuk memobilisasikan permodalan dari masyarakat
dianggap sesuatu yang diharamkan dan sangat dilarang. Akibatnya, koperasi akan terus mendapatkan tingkat
penerimaan marjinal yang rendah dan akan sulit berkembang.
Tesis
kedua, sebagaimana telah
dibahas diatas secara lebih mendalam, adalah ketergantungan, koperasi kepada
kredit program dari pemerintah dalam mengembangkan usahanya yang membuat mereka
terlena dan tidak berkembang. Upaya pemupukan permodalan melalui program
perkreditan pemerintah menimbulkan kurangnya inisiatip dari gerakan koperasi
untuk memupuk dan mengembangkan sumber-sumber permodalan lainnya, terutama dari
masyarakat, karena sumber permodalan tersebut tidak semenarik sumber permodalan
dari program pemerintah.
Jika permasalahan mendasar tersebut telah dapat diatasi
dengan berbagai upaya yang basisnya dari gerakan koperasi sendiri, maka akan
muncul tesis ketiga, yaitu kerjasama
antar koperasi untuk memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada pada gerakan
koperasi agar mendapatkan tingkat penerimaan terhadap investasi (ROI) yang
tinggi. Melalui pengintegrasian kelembagaan maupun kegiatan tersebut upaya
pemupukan modal harus lebih diarahkan untuk memobilisasikan dana ekstemal guna
membiayai investasi yang dapat memberikan pendapatan yang tinggi.
Rakyat
kecil tidak akan mempercayai lembaga yang labil. Rumahtangga pedesaan umumnya
tahu jika suatu lembaga secara ekonomis tidak mantap maka lembaga tersebut
tidak akan langgeng. Bila mereka percaya bahwa lembaga ekonomi tersebut tidak
akan langgeng maka mereka cenderung untuk menunggak dan berbuat sesuatu sebagai
tindakan "mumpungan". Hal ini sangat berbahaya dalam pembangunan
koperasi karena citranya akan memburuk. Pada saat ini kebanyakan Koperasi
melaksanakan kredit program dengan suku bunga yang tidak cukup untuk menutupi
biaya administrasi dan kerugian karena tunggakan. Mereka menjadi sangat
tergantung kepada program-program pemerintah agar bisa melanjutkan usahanya,
padahal kelanggengan merupakan faktor yang sangat penting bagi suatu sistem
keuangan.
Pagu
bunga kredit yang ditetapkan pada kredit program melalui koperasi merupakan
suatu faktor penting yang memberikan dampak langsung pada keragaan koperasi.
Walaupun hal tersebut dapat dikompensasikan dengan rendahnya biaya dana, bunga
yang telah ditetapkan tersebut tidaklah setara dengan risiko dan biaya administrasi
untuk melaksanakan program tersebut. Oleh karena itu sudah sewajamya jika
pemerintah melepaskan pagu bunga untuk semua kredit program dan mengizinkan
koperasi untuk menetapkan tingkat bunga pinjaman mereka sesuai dengan biaya
dana, kerugian tunggakan dan biaya administrasinya. Hal ini diharapkan akan
dapat memperbaiki efisiensi alokasi sumberdaya, meningkatkan kelayakan keuangan
dan kelangsungan program kredit, dan lembaga koperasinya sendiri. Ini juga akan
dapat mendorong koperasi untuk meminjamkan lebih banyak kredit sehingga akan
meningkatkan penyediaan kredit dan memperluas akses usaha mikro untuk
memperoleh kredit.
Usaha
mikro sangat menghargai akses tersebut daripada kredit yang murah tapi sulit didapat.
Tingkat bunga yang rendah tidaklah sepenting tingkat kepastian bahwa kredit
tersedia dan dalam jumlah yang cukup, dengan prosedur dan persyaratan yang
ringan, dan dengan waktu tunggu yang tidak terlalu lama. Bentuk kelembagaan,
dalam kasus apapun, bukanlah syarat untuk keberhasilan. Kebijaksanaan, perilaku dan praktek manajemen lebih
merupakan hal-hal pokok yang perlu diimplementasikan. Beberapa Koperasi Simpan
Pinjam (KSP) mungkin saja sangat baik sebagai LIK karena baiknya mekanisme
penagihan dan penekanan biaya transaksi yang mereka terapkan, namun, tidak
semua KSP baik. Koperasi yang baik adalah koperasi yang tidak bergantung kepada
dana kredit program dari pemerintah, tetapi berusaha untuk mendapatkan dana
dengan tingkat bunga pasar dan menggunakannya sesuai dengan keuntungan
komparatip yang mereka punyai. Mereka harus mengatasi permasalahan yang selalu menghambat
gerak mereka sebagai lembaga ekonomi yang tidak meninggalkan semangat sosial
dari koperasi. Jika mereka tidak dapat mengatasi "conflict of
interest", yang dalam hal ini, dengan lebih mengutamakan kesehatan
keuangan, maka mereka tidak akan dapat sukses sebagai LIK.
Pemerintah dan Bank Indonesia memainkan peranan yang
sangat besar dalam pengaturan kredit untuk koperasi dan usaha mikro di
Indonesia. BI pada masa lalu lebih merupakan bank pembangunan yang
mengkontribusikan dananya pada pasar kredit dan mengarahkannya melalui
keputusan yang mereka tetapkan, bukan sebagai "lender of last resort"
sebagaimana di negara lainnya. Namun demikian, murahnya dana yang diberikan
menjadikan koperasi tidak terdorong untuk memobilisasikan dana tabungan dan
membangun sumberdaya keuangannya melalui kegiatan-kegiatan yang menguntungkan.
Bantuan dari pemerintah dianggap dapat menggantikan sumberdaya lokal. Akibatnya
koperasi menjadi terbiasa bersikap demikian dan pada saat yang sama hal
tersebut akan merangsang pula para peminjam yang sebenamya tidak mempunyai
peluang investasi yang layak, kecuali untuk konsumsi yang tidak perlu. Ketika saatnya
tiba untuk "phasing out", koperasi dan para peminjam ini belum siap
untuk membayar bunga "riil", dan rencana untuk memobilisasikan dana
tabunganpun belum ada. Untuk merangsang koperasi memobilisasikan dana, pemerintah
hendaklah secara bertahap meningkatkan bunga pinjaman likuiditasnya, atau
mengurangi "share"nya dengan mendorong koperasi untuk jangka waktu
tertentu meningkatkan dananya sendiri. Ini akan mendorong koperasi untuk lebih
dapat bersaing terhadap lembaga ekonomi lainnya. Kompetisi dalam
memobilisasikan dana tersebut akan memperbaiki efisiensi antar LIK dan akan
menurunkan biaya intermediasi.