Minggu, 25 Agustus 2013

Makalah 2 Temu Nasional Strategi dan Kebijakan Pendirian Perusahaan Asuransi Koperasi



Bahan ini akan dipresentasikan pada :
Temu Nasional Strategi dan Kebijakan Pendirian Perusahaan Asuransi Berbadan Hukum Koperasi
Jakarta, 27-29 Agustus 2013

 QUO VADIZ KOPERASI?*)
Oleh:
Achmad H.Gopar**)

            Dalam retorika maupun tulisan koperasi diyakini sebagai wujud ekonomi kerakyatan yang dapat mensejahterakan rakyat. Namun menjelang hari koperasi pada tanggal 12 Juli, yang setiap tahun diperingati, belum nampak kemajuan perkoperasian yang berarti, bahkan menunjukkan gejala kemunduran, terutama dari sudut pandang kelembagaan.

            Masih teringat dalam benak ketika masa kampanye setahun yang lalu koperasi digadang-gadang sebagai cara mengentaskan kemiskinan, sebagai sistem perekonomian kerakyatan, bahkan sebagai alternatip untuk menghadang paham neoliberalism, yang diyakini banyak kalangan telah menimbulkan banyak kekacauan perekonomian di negara-negara maju. Janji kampanye tersebut mungkin telah terlupakan, karena tidak terlihat wujud nyata dari kampanye tersebut dalam pengembangan koperasi. Setahun telah berlalu, bahkan dalam satu dekade ini, boleh dikatakan koperasi tidak mengalami kemajuan, bahkan sebagai gerakan, koperasi telah mengalami kemunduran institusional.
            Secara kelembagaan gerakan koperasi semakin mengalami kemunduran, dengan telah menghilangnya ataupun beralih bentuk beberapa institusinya. Di sektor finansial, dulunya gerakan  koperasi memiliki lembaga perbankan, penjaminan kredit, bahkan asuransi. Bank BUKOPIN (Bank Umum Koperasi Indonesia) dulunya dimiliki oleh gerakan koperasi dengan misi untuk melayani kebutuhan jasa keuangan gerakan koperasi. Kini bank tersebut telah menjadi milik publik dengan misi melayani publik, ruh pelayanan khusus untuk koperasi telah semakin menghilang darinya. Di jasa penjaminan kredit, gerakan koperasi pernah punya LJKK (Lembaga Jaminan Kredit Koperasi), beralih menjadi Perum PKK (Pengembangan Keuangan Koperasi), berubah wujud lagi menjadi Perum SPU (Sarana Pengembangan Usaha),  dan kini berubah lagi menjadi PT Penjaminan Kredit, yang tentunya misi penjaminan kredit khusus untuk koperasi menjadi semakin terabaikan. Lembaga asuransi dan lembaga audit telah lama menghilang dari sistem kelembagaan koperasi.
Mundurnya sistem kelembagaan koperasi di sektor finansial tersebut ternyata beriringan dengan mundurnya sistem kelembagaan koperasi di sektor riil. Dua dekade lalu, KUD (Koperasi Unit Desa) cukup dominan dalam perekonomian perdesaan, terutama kiprahnya dalam pencapaian swasembada pangan; khususnya dalam ekonomi perberasan dan distribusi pupuk. Integrasi kelembagaan secara vertikal (KUD-PUSKUD-INKUD), baik secara organisasi maupun bisnis, juga berkembang cukup baik. Demikian juga kiprah koperasi pada komoditi susu, dimotori oleh GKSI (Gabungan Koperasi Susu Indonesia) peranan koperasi primernya benar-benar dirasakan oleh para peternak. Dengan adanya PMP (Penyertaan Modal Pemerintah) untuk membangun sarana penanganan susu segar (milk treatment), koperasi persusuan telah bermetaphorpose menjadi pelaku bisnis yang patut diperhitungkan. Namun  saat ini koperasi di sektor riil tersebut kiprahnya sudah terdengar sayup-sayup, termasuk kiprah GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia). DEKOPIN (Dewan Koperasi Indonesia) sebagai apex gerakan koperasi juga belum maksimal kiprahnya.
Jika koperasi dianggap sebagai jalan tengah untuk menghadapi paham neoliberalisme, maka kondisi perkoperasian tersebut merupakan paradoks, karena di negara-negara yang dianggap menganut paham neoliberalisme, koperasinya justru maju pesat. Ambil contoh Amerika Serikat, sebagai negara pemuka penganut paham neoliberalisme, gerakan koperasinya maju dengan sangat pesat. Di sektor finansial, ada FCS (the Farm Credit System) yang terdiri dari 102 lembaga keuangan milik koperasi/anggota koperasi, diantaranya ada enam buah bank; lima bank untuk koperasi (bank for cooperatives) dan Cooperative Bank (CoBank). FCS ini melayani sektor pertanian dan UKM. Ada ribuan CU (Credit Union) dengan apexnya CUNA (Credit Union National Association) dan international apexnya WOCCU, keduanya berdomisili di Madison, Wisconsin. Di sektor riil, sebagian besar UKM bergabung dalam koperasi dan menghasilkan organisasi bisnis yang besar dan dapat bersaing di tingkat internasional, terutama di sektor pertanian. Sebut saja Land O’Lakes, Mac Grower, Sunkist, dan lainnya. Di sektor energi, sebagian besar listrik perdesaan dilayani oleh koperasi.
Keberhasilan gerakan koperasi di negara penganut pasar bebas tersebut tidaklah terlepas daripada peranan pemerintah dan negara. FCS yang melayani lebih dari 70% kebutuhan finansial petani, modal awalnya (seed capital) berasal dari pemerintah, dan kapitalisasinya di pasar keuangan dijamin pemerintah. Kelebihan produksi koperasi dibeli pemerintah. Misalnya terjadi kelebihan produksi susu atau biji-bijian (jagung, kedelai), pemerintah membelinya  untuk persediaan, dan melalui mekanisme PL 480 disalurkan untuk bantuan luar negeri. Negara mengakui akumulasi kekuatan (power accumulation) yang dilakukan koperasi dalam persaingan usaha melalui the Capper-Volstead Act, yang menghindarkan koperasi dari status monopoli.
Bagaimana di Indonesia? Negara telah membuka kesempatan yang sangat luas bagi koperasi untuk berkembang. Hampir semua peraturan perundangan sektoral memberikan peluang tersebut. UU sektor Perhubungan, UU sektor Pariwisata, UU sektor Pertanian maupun UU sektor Keuangan. Jika Amerika Serikat tidak mempunyai UU Federal untuk koperasi, Indonesia punya UU no 25 tahun 1995 tentang Perkoperasian yang memberikan peluang sangat luas untuk koperasi. Mengapa di Indonesia, yang masih malu mengakui sebagai penganut neolib, koperasi tidak bisa berkembang dengan baik?
Peluang yang diberikan negara tentunya harus diikuti oleh kebijakan pemerintah. Bersediakah pemerintah menyediakan modal awal untuk membangun sistem keuangan koperasi, dimana intinya bank untuk koperasi? Bersediakah pemerintah membeli kelebihan produksi koperasi untuk stok nasional dan bantuan bencana? Bersediakah pemerintah memberikan hak distribusi pupuk kepada koperasi? Kebijakan pemerintah tentunya harus ditindak lanjuti dengan program pembangunan yang dapat memperkuat sistem kelembagaan koperasi. Kebijakan dan program tersebut walaupun memihak koperasi namun tidak boleh menimbulkan eksternalitas, yang bisa dimanfaatkan  oleh pencari rente. Jangan dibiarkan pencari rente mendirikan atau memanfaatkan koperasi hanya untuk kepentingannya, sehingga bermunculan koperasi burung merpati yang hanya memanfaatkan eksternalitas dan fasilitas, kemudian menghilang meninggalkan kewajibannya.
Kelembagaan, dukungan negara, kebijakan dan program pemerintah belumlah lengkap, karena inti dari kemajuan koperasi adalah anggota. Ketika membentuk koperasi, anggota harus mafhum betul apa tujuan mendirikan koperasi dan apa kemanfaatannya, dan kesesuaiannya dengan kebutuhannya sebagai anggota. Anggota sebagai pemilik haruslah menjadi pengguna jasa koperasi, sehingga anggota mempunyai kekuasaan penuh untuk menentukan arah kebijakan dan operasional koperasi sesuai, dengan kemanfaatan jasa koperasi yang diinginkannya. Jangan sampai anggota menjadi alat oleh segelintir orang yang memanfaatkan koperasi untuk tujuan dan kepentingan mereka. Oleh karena itu, sejak awal koperasi didirikan, pendidikan dan pengajaran tentang koperasi untuk anggota harus dilakukan.
Selamat hari koperasi, semoga koperasi semakin cemerlang. 
Untuk Download file utuh, Klik


Makalah 1 Temu Nasional Strategi dan Kebijakan Pendirian Perusahaan Asuransi Koperasi



Bahan ini akan dipresentasikan pada :
Temu Nasional Strategi dan Kebijakan Pendirian Perusahaan Asuransi Berbadan Hukum Koperasi
Jakarta, 27-29 Agustus 2013


KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA INTERMEDIASI KEUANGAN UNTUK PEMBIAYAAN USAHA MIKRO DI SEKTOR PERTANIAN
Oleh:
ACHMAD H. GOPAR
Pendahuluan
Meskipun tidak banyak dimengerti, peran dasar koperasi dalam sistem keuangan, terutama dalam hal penyediaan permodalan, adalah menjadi perantara yang menghubungkan pihak yang berlebih dan pihak yang kekurangan, atau, seperti di banyak negara berkembang, adalah menjadi penyalur kredit pemerintah untuk pembangunan. Dalam cakrawala pandangan ini, koperasi tidaklah berbeda dengan lembaga intermediasi keuangan (LIK) lainnya. Perbedaan utamanya adalah; jika pada LIK lainnya peminjam dan pemberi pinjaman adalah jatidiri yang berbeda, maka pada koperasi peminjam dan pemberi pinjaman adalah pemilik LIK.1)
Sebuah badan usaha atau sebuah rumahtangga bisa saja memiliki sumberdaya melebihi peluang investasi yang menguntungkannya atau peluang konsumsinya. LIK memungkinkan pihak yang surplus untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang lebih tinggi bagi dananya yang menganggur ataupun konsumsinya yang ditunda sehingga kelebihan sumberdaya tersebut menghasilkan kepuasan yang lebih tinggi. Sebagaimana Gonzales-Vega nyatakan, dengan absennya mekanisme keuangan, maka setiap produsen harus mengongkosi sendiri kegiatannya; dengan kata lain, setiap produsen hanya dapat menarik keuntungan dari peluang produksinya sampai pada tingkat yang dimungkinkan oleh sumberdaya yang dimilikinya.2)
Jika keragaan LIK sangat buruk, maka kontrak ataupun pertukaran secara barter antara pihak yang surplus sumberdaya dan pihak yang minus sumberdaya menjadi sulit diwujudkan, jikapun teIjadi akan membutuhkan biaya yang tinggi. Untuk menurunkan biaya transaksi pertukaran tersebut, koperasi sebagai LIK dapat memberikan fasilitas untuk terjadinya perpindahan barang dan jasa diantara pihak-pihak tersebut. Ini dimungkinkan dengan cara memobilisasikan dana dari pihak yang surplus (tabungan) dan menyalurkannya (pinjaman) kepada pihak yang yang sumberdayanya terbatas. Bila dana ini digunakan untuk bahan baku dan faktor produksi, maka realokasi sumberdaya akan terjadi dari pihak yang surplus kepada produsen yang minus, yang selanjutnya akan meningkatkan produktivitas sumberdaya secara keseluruhan.
Peranan LIK tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut; misalkan ada dua pihak “A” dan “B” ingin mengadakan pertukaran melalui barter atau melalui perantara informal. Misalkan pula bahwa A mempunyai peluang produksi yang sangat bagus, namun tidak mempunyai sumberdaya sendiri yang cukup untuk kegiatan tersebut, sedangkan B mempunyai kelebihan sumberdaya namun tidak mempunyai peluang produksi yang bagus sehingga terpaksa menggunakannya untuk keperluan yang kurang berdayaguna. Jika tidak ada LIK, maka A akan terpaksa menjadi kurang produktip karena kekurangan sumberdaya, sedangkan B terpaksa mengkonsumsi kelebihan sumberdaya tersebut dengan tidak efisien atau menginvestasikannya pada aktivitas yang kurang menguntungkan dimana "return on investment" (ROI)nya rendah.
Sistem keuangan di negara berkembang umumnya bercirikan dengan berbagai fragmentasi: terisolasinya unit-unit ekonomi dan tidak adanya mekanisme yang efisien untuk mentransfer sumberdaya antar produsen. Selain tidak terintegrasinya sistem keuangan, juga terdapat hubungan yang kurang menggembirakan antar kelompok yang tingkat pendapatannya berbeda. Di dalam lingkungan sistem keuangan yang terpilah-pilah tersebut akan muncul ketimpangan tingkat pendapatan marjinal terhadap "asset" yang sangat besar: beberapa unit menerima pendapatan yang sangat besar sedangkan yang lainnya menerima pendapatan dengan tingkat yang sangat rendah. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan iklim, prasarana transportasi, sumber pendapatan, keterpaduan usaha, besarnya keluarga, kapasitas manajerial, dan nasib baik. Juga karena sifat sistem produksi, misalnya suatu usaha tani menjadi biasa bila mengalami kesulitan likuiditas pada suatu ketika dan mempunyai kelebihan likuiditas pada masa panen. Ketimpangan pendapatan antar unit ekonomi untuk jangka waktu tertentu tersebut menjadi tipikal dengan meningkatnya pembangunan. Siklus hidup suatu usaha dan terpilah-pilahnya pemilikan sumberdaya suatu keluarga meningkatkan kebutuhan intermediasi keuangan. Membantu merealokasikan sumberdaya tersebutlah yang merupakan hal terpenting bagi suatu LIK untuk dapat disumbangkan dalam pembangunan.3)
Lebih lanjut, LIK tidak saja mengurangi biaya dan risiko untuk menabung dan meningkatkan penerimaan rata-rata investasi, juga merangsang menabung, meningkatkan akumulasi modal dan, tentu saja, laju pendapatan. Sebagai tambahan, sistem intermediasi keuangan yang efisien juga akan meningkatkan distribusi pendapatan. Perbedaan tingkat pendapatan antar produsen berkaitan dengan perbedaan kesempatan berproduksi dan kontrol terhadap sumberdaya yang memungkinkan mereka mengambil keuntungan daripadanya. Selain akses terhadap kredit memungkinkan kontrol tersebut, sistem intermediasi keuangan dapat mengeliminasikan salah satu sumber potensial timbulnya kesenjangan laju pendapatan.4) Dengan demikian, sistem intermediasi keuangan yang baik akan dapat meningkatkan laju akumulasi modal, memperbaiki alokasi sumberdaya, dan memperbaiki distribusi pendapatan.

Kondisi Umum Intermediasi Keuangan di Negara Negara Berkembang
Intermediasi keuangan di negara-negara berkembang umumnya lebih menekankan kegiatannya pada sisi pemberian pinjaman/kreditnya saja dibandingkan pada sisi pemupukan modalnya. Oleh karena itu lazimnya hanya disebut sistem perkreditan saja. Intermediasi keuangan di beberapa negara berkembang selalu berkaitan dengan proses pembangunan. Para pakar kredit umumnya sepakat bahwa kredit memegang peranan yang sangat penting dalam mempercepat laju pertumbuhan, memperbaiki pengalokasian sumberdaya dan mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan, terutama di pedesaan.5)
Pada periode 1960-70an banyak negara berkembang, seringkali dengan bantuan yang sangat besar dari negara-negara donor, membangun sistem perkreditannya dengan mengandalkan pada kebijaksanaan pengendalian tingkat bunga pinjaman agar tetap dibawah tingkat bunga pasar pada umumnya. Walaupun peranannya sangat besar namun tidaklah berarti bahwa program kredit tersebut luput dari berbagai permasaalahan, umumnya program ini memerlukan jumlah dana yang sangat besar; tingkat pengembalian kredit yang sangat rendah; sulitnya kaum papa terutama di pedesaan untuk mempunyai akses terhadap kredit murah; dan masih saja diragukan apakah peningkatan jumlah arus kredit benar-benar meningkatkan laju pembangunan, terutama di pedesaan. Yang lebih menyedihkan lagi, banyak dari lembaga intermediasi keuangan yang melaksanakan program tersebut tidak dapat mandiri.6) Kredit murah dan kredit yang mempunyai sasaran tertentu saja telah lama mendapat kecaman dari banyak pengamat, terutama para pakar dari Ohio State University dan Bank Dunia yang berkeyakinan bahwa kebijaksanaan tersebut melemahkan lembaga keuangan mikro (LIK).7)
Tingkat bunga kredit mikro yang rendah menyebabkan LIK juga menawarkan bunga yang rendah kepada penabung potensial, sehingga akan menurunkan jumlah tabungan dan memaksa LIK bergantung kepada dana murah atau subsidi dari Bank sentral untuk menjamin likuiditasnya, yang umumnya dikendalikan oleh penjatahan administratip ataupun politis. Cara pertama akan meningkatkan biaya transaksi, sedangkan cara terakhir akan menyebabkan timbulnya "permainan" dalam analisis kelayakan kredit dan/atau "kekeliruan yang disengaja" oleh peminjam yang basis politisnya kuat, yang pada akhimya akan menyebabkan kredit macet.
Biaya transaksi yang tinggi merupakan masalah lumrah untuk sistem perkreditan di negara-negara berkembang. Masalah ini terutama disebabkan fragmentasi pasar, transaksi yang kecil-kecil, biaya informasi yang tinggi, dan risiko serta ketidak-pastian yang tinggi. Hal-hal tersebut mengakibatkan penerimaan bersih bagi penabung menjadi sangat rendah, biaya total (termasuk pengeluaran bukan bunga) bagi peminjam menjadi sangat tinggi, ukuran pasar uang tetap saja kecil, dan volume dana yang dimobilisasikan serta variasi jasa keuangan menjadi tetap terbatas. Lebih lanjut, mengingat biaya transaksi di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan, jasa-jasa kredit dan perbankan cenderung lebih terkonsentrasi di perkotaan.
Kebijaksanaan dan regulasi keuangan, termasuk pembatasan tingkat bunga dan kecurigaan terhadap para pengijon serta rentenir, menyebabkan lebih parahnya kondisi tersebut di atas, sehingga berakibat lebih terkonsentrasinya kredit murah kepada beberapa tangan saja. Hanya sebagian kecil saja dari masyarakat dapat mempunyai akses kepada kredit formal, melalui LIK yang nyatanya sulit dikatakan layak dan hanya dapat menawarkan jasa pinjaman, bukan fasilitas tabungan. Dana kredit datangnya dari pemerintah, bank sentral, dan negara/lembaga donor, sedangkan keterbatasan intermediasi antara penabung lokal dan investor lebih memarakkan kesenjangan tingkat penerimaan marjinal untuk suatu investasi.8)
Argumen-argumen di atas tidak lagi lebih menitik-beratkan penilaian terhadap tingkat bunga saja namun juga mempermasalahkan peranan LIK, khususnya bagaimana seharusnya suatu LIK yang mandiri dapat dirangsang dan dibangun. Pertanyaan: "Berapa suku bunga?" walaupun masih tetap penting kini selalu disertai dengan pertanyaan yang setara: "Bagaimana kelembagaannya?" Menjangkau masyarakat banyak dengan jasa keuangan tidaklah cukup hanya dengan mempromosikan suatu bentuk kelembagaan khusus saja. Walaupun banyak laporan tentang bentuk LIK yang mungkin cocok, terutama untuk pedesaan, namun sedikit sekali yang membahas tentang dimensi organisasi dari LIK tersebut.9)
Mengapa Membangun "Sistem Intermediasi Keuangan"?
Dari uraian di atas setidaknya ada tiga tesis tentang perlunya membangun "sistem intermediasi keuangan", dimana substansinya lebih pada kelembagaan koperasi, dibandingkan hanya membangun pola atau skim perkreditan, yang substansinya lebih kepada program perkreditan sebagaimana yang telah berlangsung selama ini.
Tesis pertama adalah pada pengertian yang keliru (false understanding) terhadap prinsip koperasi, dimana intermediasi keuangan pada koperasi para peminjam dan penabung adalah pemilik lembaga koperasinya. Dalam pengertian ini, koperasi menjadi organisasi keuangan yang tertutup, yang hanya mengandalkan sumberdaya yang ada pada dirinya sendiri. Upaya untuk memobilisasikan permodalan dari masyarakat dianggap sesuatu yang diharamkan dan sangat dilarang. Akibatnya, koperasi akan terus mendapatkan tingkat penerimaan marjinal yang rendah dan akan sulit berkembang.
Tesis kedua, sebagaimana telah dibahas diatas secara lebih mendalam, adalah ketergantungan, koperasi kepada kredit program dari pemerintah dalam mengembangkan usahanya yang membuat mereka terlena dan tidak berkembang. Upaya pemupukan permodalan melalui program perkreditan pemerintah menimbulkan kurangnya inisiatip dari gerakan koperasi untuk memupuk dan mengembangkan sumber-sumber permodalan lainnya, terutama dari masyarakat, karena sumber permodalan tersebut tidak semenarik sumber permodalan dari program pemerintah.
Jika permasalahan mendasar tersebut telah dapat diatasi dengan berbagai upaya yang basisnya dari gerakan koperasi sendiri, maka akan muncul tesis ketiga, yaitu kerjasama antar koperasi untuk memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya yang ada pada gerakan koperasi agar mendapatkan tingkat penerimaan terhadap investasi (ROI) yang tinggi. Melalui pengintegrasian kelembagaan maupun kegiatan tersebut upaya pemupukan modal harus lebih diarahkan untuk memobilisasikan dana ekstemal guna membiayai investasi yang dapat memberikan pendapatan yang tinggi.
Rakyat kecil tidak akan mempercayai lembaga yang labil. Rumahtangga pedesaan umumnya tahu jika suatu lembaga secara ekonomis tidak mantap maka lembaga tersebut tidak akan langgeng. Bila mereka percaya bahwa lembaga ekonomi tersebut tidak akan langgeng maka mereka cenderung untuk menunggak dan berbuat sesuatu sebagai tindakan "mumpungan". Hal ini sangat berbahaya dalam pembangunan koperasi karena citranya akan memburuk. Pada saat ini kebanyakan Koperasi melaksanakan kredit program dengan suku bunga yang tidak cukup untuk menutupi biaya administrasi dan kerugian karena tunggakan. Mereka menjadi sangat tergantung kepada program-program pemerintah agar bisa melanjutkan usahanya, padahal kelanggengan merupakan faktor yang sangat penting bagi suatu sistem keuangan.
Pagu bunga kredit yang ditetapkan pada kredit program melalui koperasi merupakan suatu faktor penting yang memberikan dampak langsung pada keragaan koperasi. Walaupun hal tersebut dapat dikompensasikan dengan rendahnya biaya dana, bunga yang telah ditetapkan tersebut tidaklah setara dengan risiko dan biaya administrasi untuk melaksanakan program tersebut. Oleh karena itu sudah sewajamya jika pemerintah melepaskan pagu bunga untuk semua kredit program dan mengizinkan koperasi untuk menetapkan tingkat bunga pinjaman mereka sesuai dengan biaya dana, kerugian tunggakan dan biaya administrasinya. Hal ini diharapkan akan dapat memperbaiki efisiensi alokasi sumberdaya, meningkatkan kelayakan keuangan dan kelangsungan program kredit, dan lembaga koperasinya sendiri. Ini juga akan dapat mendorong koperasi untuk meminjamkan lebih banyak kredit sehingga akan meningkatkan penyediaan kredit dan memperluas akses usaha mikro untuk memperoleh kredit.
Usaha mikro sangat menghargai akses tersebut daripada kredit yang murah tapi sulit didapat. Tingkat bunga yang rendah tidaklah sepenting tingkat kepastian bahwa kredit tersedia dan dalam jumlah yang cukup, dengan prosedur dan persyaratan yang ringan, dan dengan waktu tunggu yang tidak terlalu lama. Bentuk kelembagaan, dalam kasus apapun, bukanlah syarat untuk keberhasilan. Kebijaksanaan, perilaku dan praktek manajemen lebih merupakan hal-hal pokok yang perlu diimplementasikan. Beberapa Koperasi Simpan Pinjam (KSP) mungkin saja sangat baik sebagai LIK karena baiknya mekanisme penagihan dan penekanan biaya transaksi yang mereka terapkan, namun, tidak semua KSP baik. Koperasi yang baik adalah koperasi yang tidak bergantung kepada dana kredit program dari pemerintah, tetapi berusaha untuk mendapatkan dana dengan tingkat bunga pasar dan menggunakannya sesuai dengan keuntungan komparatip yang mereka punyai. Mereka harus mengatasi permasalahan yang selalu menghambat gerak mereka sebagai lembaga ekonomi yang tidak meninggalkan semangat sosial dari koperasi. Jika mereka tidak dapat mengatasi "conflict of interest", yang dalam hal ini, dengan lebih mengutamakan kesehatan keuangan, maka mereka tidak akan dapat sukses sebagai LIK.
Pemerintah dan Bank Indonesia memainkan peranan yang sangat besar dalam pengaturan kredit untuk koperasi dan usaha mikro di Indonesia. BI pada masa lalu lebih merupakan bank pembangunan yang mengkontribusikan dananya pada pasar kredit dan mengarahkannya melalui keputusan yang mereka tetapkan, bukan sebagai "lender of last resort" sebagaimana di negara lainnya. Namun demikian, murahnya dana yang diberikan menjadikan koperasi tidak terdorong untuk memobilisasikan dana tabungan dan membangun sumberdaya keuangannya melalui kegiatan-kegiatan yang menguntungkan. Bantuan dari pemerintah dianggap dapat menggantikan sumberdaya lokal. Akibatnya koperasi menjadi terbiasa bersikap demikian dan pada saat yang sama hal tersebut akan merangsang pula para peminjam yang sebenamya tidak mempunyai peluang investasi yang layak, kecuali untuk konsumsi yang tidak perlu. Ketika saatnya tiba untuk "phasing out", koperasi dan para peminjam ini belum siap untuk membayar bunga "riil", dan rencana untuk memobilisasikan dana tabunganpun belum ada. Untuk merangsang koperasi memobilisasikan dana, pemerintah hendaklah secara bertahap meningkatkan bunga pinjaman likuiditasnya, atau mengurangi "share"nya dengan mendorong koperasi untuk jangka waktu tertentu meningkatkan dananya sendiri. Ini akan mendorong koperasi untuk lebih dapat bersaing terhadap lembaga ekonomi lainnya. Kompetisi dalam memobilisasikan dana tersebut akan memperbaiki efisiensi antar LIK dan akan menurunkan biaya intermediasi.