Bahan ini akan dipresentasikan pada :
Temu Nasional Strategi dan Kebijakan Pendirian Perusahaan Asuransi Berbadan
Hukum Koperasi
Jakarta, 27-29 Agustus 2013
QUO
VADIZ KOPERASI?*)
Oleh:
Achmad H.Gopar**)
Dalam retorika maupun
tulisan koperasi diyakini sebagai wujud ekonomi kerakyatan yang dapat
mensejahterakan rakyat. Namun menjelang hari koperasi pada tanggal 12 Juli, yang
setiap tahun diperingati, belum nampak kemajuan perkoperasian yang berarti,
bahkan menunjukkan gejala kemunduran, terutama dari sudut pandang kelembagaan.
Masih
teringat dalam benak ketika masa kampanye setahun yang lalu koperasi
digadang-gadang sebagai cara mengentaskan kemiskinan, sebagai sistem
perekonomian kerakyatan, bahkan sebagai alternatip untuk menghadang paham neoliberalism, yang diyakini banyak kalangan telah
menimbulkan banyak kekacauan perekonomian di negara-negara maju. Janji kampanye
tersebut mungkin telah terlupakan, karena tidak terlihat wujud nyata dari
kampanye tersebut dalam pengembangan koperasi. Setahun telah berlalu, bahkan
dalam satu dekade ini, boleh dikatakan koperasi tidak mengalami kemajuan,
bahkan sebagai gerakan, koperasi telah mengalami kemunduran institusional.
Secara
kelembagaan gerakan koperasi semakin mengalami kemunduran, dengan telah
menghilangnya ataupun beralih bentuk beberapa institusinya. Di sektor
finansial, dulunya gerakan koperasi
memiliki lembaga perbankan, penjaminan kredit, bahkan asuransi. Bank BUKOPIN
(Bank Umum Koperasi Indonesia) dulunya dimiliki
oleh gerakan koperasi dengan misi untuk melayani kebutuhan jasa keuangan
gerakan koperasi. Kini bank tersebut telah menjadi milik publik dengan misi
melayani publik, ruh pelayanan khusus untuk koperasi telah semakin menghilang
darinya. Di jasa penjaminan kredit, gerakan koperasi pernah punya LJKK (Lembaga
Jaminan Kredit Koperasi), beralih menjadi Perum PKK (Pengembangan Keuangan Koperasi),
berubah wujud lagi menjadi Perum SPU (Sarana Pengembangan Usaha), dan kini berubah lagi menjadi PT Penjaminan
Kredit, yang tentunya misi penjaminan kredit khusus untuk koperasi menjadi
semakin terabaikan. Lembaga asuransi dan lembaga audit telah lama menghilang
dari sistem kelembagaan koperasi.
Mundurnya
sistem kelembagaan koperasi di sektor finansial tersebut ternyata beriringan
dengan mundurnya sistem kelembagaan koperasi di sektor riil. Dua dekade lalu,
KUD (Koperasi Unit Desa) cukup dominan dalam perekonomian perdesaan, terutama
kiprahnya dalam pencapaian swasembada pangan; khususnya dalam ekonomi
perberasan dan distribusi pupuk. Integrasi kelembagaan secara vertikal
(KUD-PUSKUD-INKUD), baik secara organisasi maupun bisnis, juga berkembang cukup
baik. Demikian juga kiprah koperasi pada komoditi susu, dimotori oleh GKSI
(Gabungan Koperasi Susu Indonesia) peranan koperasi primernya benar-benar
dirasakan oleh para peternak. Dengan adanya PMP (Penyertaan Modal Pemerintah)
untuk membangun sarana penanganan susu segar (milk treatment), koperasi
persusuan telah bermetaphorpose menjadi pelaku bisnis yang patut
diperhitungkan. Namun saat ini koperasi
di sektor riil tersebut kiprahnya sudah terdengar sayup-sayup, termasuk kiprah
GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia). DEKOPIN (Dewan Koperasi Indonesia)
sebagai apex gerakan koperasi juga belum maksimal kiprahnya.
Jika
koperasi dianggap sebagai jalan tengah untuk menghadapi paham neoliberalisme,
maka kondisi perkoperasian tersebut merupakan paradoks, karena di negara-negara
yang dianggap menganut paham neoliberalisme, koperasinya justru maju pesat.
Ambil contoh Amerika Serikat, sebagai negara pemuka penganut paham
neoliberalisme, gerakan koperasinya maju dengan sangat pesat. Di sektor
finansial, ada FCS (the Farm Credit System) yang terdiri dari 102 lembaga
keuangan milik koperasi/anggota koperasi, diantaranya ada enam buah bank; lima
bank untuk koperasi (bank for cooperatives) dan Cooperative Bank (CoBank). FCS
ini melayani sektor pertanian dan UKM. Ada ribuan CU (Credit Union) dengan
apexnya CUNA (Credit Union National Association) dan international apexnya
WOCCU, keduanya berdomisili di Madison, Wisconsin. Di sektor riil, sebagian
besar UKM bergabung dalam koperasi dan menghasilkan organisasi bisnis yang
besar dan dapat bersaing di tingkat internasional, terutama di sektor
pertanian. Sebut saja Land O’Lakes, Mac Grower, Sunkist, dan lainnya. Di sektor
energi, sebagian besar listrik perdesaan dilayani oleh koperasi.
Keberhasilan
gerakan koperasi di negara penganut pasar bebas tersebut tidaklah terlepas
daripada peranan pemerintah dan negara. FCS yang melayani lebih dari 70%
kebutuhan finansial petani, modal awalnya (seed capital) berasal dari
pemerintah, dan kapitalisasinya di pasar keuangan dijamin pemerintah. Kelebihan
produksi koperasi dibeli pemerintah. Misalnya terjadi kelebihan produksi susu atau
biji-bijian (jagung, kedelai), pemerintah membelinya untuk persediaan, dan melalui mekanisme PL
480 disalurkan untuk bantuan luar negeri. Negara mengakui akumulasi kekuatan
(power accumulation) yang dilakukan koperasi dalam persaingan usaha melalui the
Capper-Volstead Act, yang menghindarkan koperasi dari status monopoli.
Bagaimana
di Indonesia? Negara telah membuka kesempatan yang sangat luas bagi koperasi
untuk berkembang. Hampir semua peraturan perundangan sektoral memberikan
peluang tersebut. UU sektor Perhubungan, UU sektor Pariwisata, UU sektor
Pertanian maupun UU sektor Keuangan. Jika Amerika Serikat tidak mempunyai UU
Federal untuk koperasi, Indonesia punya UU no 25 tahun 1995 tentang
Perkoperasian yang memberikan peluang sangat luas untuk koperasi. Mengapa di
Indonesia, yang masih malu mengakui sebagai penganut neolib, koperasi tidak
bisa berkembang dengan baik?
Peluang
yang diberikan negara tentunya harus diikuti oleh kebijakan pemerintah.
Bersediakah pemerintah menyediakan modal awal untuk membangun sistem keuangan
koperasi, dimana intinya bank untuk koperasi? Bersediakah pemerintah membeli
kelebihan produksi koperasi untuk stok nasional dan bantuan bencana?
Bersediakah pemerintah memberikan hak distribusi pupuk kepada koperasi?
Kebijakan pemerintah tentunya harus ditindak lanjuti dengan program pembangunan
yang dapat memperkuat sistem kelembagaan koperasi. Kebijakan dan program
tersebut walaupun memihak koperasi namun tidak boleh menimbulkan eksternalitas,
yang bisa dimanfaatkan oleh pencari rente.
Jangan dibiarkan pencari rente mendirikan atau memanfaatkan koperasi hanya
untuk kepentingannya, sehingga bermunculan koperasi burung merpati yang hanya
memanfaatkan eksternalitas dan fasilitas, kemudian menghilang meninggalkan
kewajibannya.
Kelembagaan,
dukungan negara, kebijakan dan program pemerintah belumlah lengkap, karena inti
dari kemajuan koperasi adalah anggota. Ketika membentuk koperasi, anggota harus
mafhum betul apa tujuan mendirikan koperasi dan apa kemanfaatannya, dan
kesesuaiannya dengan kebutuhannya sebagai anggota. Anggota sebagai pemilik
haruslah menjadi pengguna jasa koperasi, sehingga anggota mempunyai kekuasaan
penuh untuk menentukan arah kebijakan dan operasional koperasi sesuai, dengan
kemanfaatan jasa koperasi yang diinginkannya. Jangan sampai anggota menjadi
alat oleh segelintir orang yang memanfaatkan koperasi untuk tujuan dan
kepentingan mereka. Oleh karena itu, sejak awal koperasi didirikan, pendidikan
dan pengajaran tentang koperasi untuk anggota harus dilakukan.
Selamat
hari koperasi, semoga koperasi semakin cemerlang.
Untuk Download file utuh, Klik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar